Sikap keras muncul dari tokoh nasional dan masyarakat adat yang menganggap tindakan Yanuardi telah melanggar norma dan nilai adat istiadat Minangkabau. Salah satu suara paling lantang disampaikan oleh Anggota DPR RI Komisi XIII, Muhammad Shadiq Pasadigoe, yang mengecam keras tindakan tersebut. Shadiq menilai, apa yang dilakukan Yanuardi bukan hanya melanggar etika adat, tetapi juga berpotensi merusak kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Jejak Identitas dan Kontroversi Sang Pendeta
Yanuardi Koto diketahui berasal dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat, bersuku Koto, salah satu suku besar dalam sistem matrilineal Minangkabau. Berdasarkan informasi dari grup WhatsApp Forum Minang Maimbau Jakarta, yang beredar sejak Rabu (23/7), Yanuardi lahir dari seorang ibu berdarah Minang dan beragama Islam, tetapi kemudian memutuskan meninggalkan Islam dan memeluk Kristen, bahkan menjadi pendeta.
Keresahan muncul bukan hanya karena perpindahan agama, tetapi juga karena Yanuardi tetap menggunakan identitas suku “Koto” dan mengenakan pakaian adat Minang saat memimpin ibadah Kristen.
“Tindakan ini sangat melukai perasaan masyarakat Minang, yang identitas budayanya erat menyatu dengan Islam. Pakaian Penghulu Adat bukan sekadar kostum, melainkan simbol keislaman, kehormatan, dan kepemimpinan adat,” tegas Shadiq di Jakarta.
Hukum Adat Minang: Hak Adat Gugur Setelah Keluar dari Islam
Dalam adat istiadat Minangkabau, status sebagai “anak kemenakan” akan gugur jika seseorang berpindah ke agama non-Islam. Hal ini berdampak pada hilangnya hak-hak adat, seperti penggunaan gelar dan nama suku, hak atas tanah adat, serta identitas kultural Minangkabau.
“Ketika Yanuardi tetap memakai nama ‘Koto’ dan mengenakan pakaian adat saat menyampaikan ajaran berbeda, masyarakat adat menilai ini sebagai penghinaan terhadap sistem nilai Minangkabau,” ujar Shadiq.
Desakan Teguran Resmi dan Permintaan Maaf
Shadiq yang juga mantan Bupati Tanah Datar dua periode, menyatakan akan membawa kasus ini ke rapat resmi Komisi DPR RI. Ia meminta Pendeta Yanuardi secara terbuka meminta maaf kepada seluruh masyarakat Minangkabau di seluruh dunia. Jika tidak, DPR akan memanggil pimpinan Gereja Indonesia untuk memberi teguran keras.
“Saya mendesak agar Gereja Indonesia memberikan klarifikasi dan teguran terhadap tindakan ini. Penggunaan simbol adat dalam misi penyebaran agama harus dilakukan dengan penuh rasa hormat dan tidak menimbulkan provokasi,” tegasnya.
Kajian Hukum dan HAM Akan Dilakukan
Sebagai anggota DPR dari Dapil Sumbar I, Shadiq memastikan bahwa DPR akan mendorong kajian dari aspek hukum dan HAM terkait tindakan Yanuardi, melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM, BPIP, serta KSP. Ia menegaskan, persoalan ini tidak hanya menyentuh aspek etik lintas agama, tetapi juga berhubungan dengan sensitivitas budaya dan identitas masyarakat adat.
“Ini adalah bentuk pelanggaran yang harus disikapi secara beradab sesuai mekanisme hukum negara,” imbuh Shadiq.
Seruan Menahan Diri dan Menunggu Proses Resmi
Di tengah ketegangan yang muncul, Shadiq mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan tidak melakukan tindakan sepihak. Ia menegaskan, seluruh proses harus diselesaikan melalui mekanisme resmi dan konstitusional.
“Kita orang Minang, beradat, dan harus menjaga martabat. Jangan sampai emosi menguasai, tapi juga jangan diam. Kita tuntut keadilan melalui jalur hukum,” tegasnya.
Persimpangan Antara Toleransi dan Provokasi Budaya
Kasus ini kembali membuka luka lama mengenai dinamika identitas, agama, dan budaya di Minangkabau, daerah yang dikenal dengan semboyan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah penggunaan simbol budaya lain dalam konteks keagamaan harus tetap dianggap sebagai bentuk toleransi atau justru sebagai provokasi yang membungkus diri dengan toleransi semu.
Indonesia menanti jawaban dari polemik ini, sementara DPR bersiap menggelar sidang untuk membahas persoalan tersebut secara komprehensif.
Penulis : Chairur