MR.com,Takalar| Di balai desa yang sederhana di Tonasa, Kecamatan Sanrobone, Kamis siang, 31 Juli 2025, puluhan pasang mata memerhatikan dengan saksama gerakan tangan seorang mahasiswa yang tengah menumbuk daun pepaya tua. 

Di belakangnya, banner bertuliskan “KKN Tematik Gelombang 114 UNHAS,  Pertanian Organik dan Pengembangan Produk Lokal” tergantung di dinding, menyaksikan diam-diam demonstrasi kecil yang punya misi besar, mengurangi ketergantungan petani pada pestisida kimia.

Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Tematik Universitas Hasanuddin itu tak sekadar mempraktikkan cara membuat pestisida nabati. Ia, bersama rekan-rekannya, sedang menyemai ide tentang pertanian berkelanjutan kepada para petani lokal. Bahan bakunya? Cukup daun pepaya yang biasa tumbuh liar di pekarangan.

Kegiatan demonstrasi ini tak berlangsung dalam sepi. Petani, masyarakat, kepala dusun, staf desa, Babinsa, hingga Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Tonasa turut menghadiri dan mendukung kegiatan ini. Di antara kerumunan, antusiasme tampak nyata, beberapa warga mencatat, sebagian lainnya bertanya, dan sisanya mencoba langsung mencampurkan larutan pestisida yang telah disaring.


“Kami menggunakan 2–3 helai daun pepaya tua yang ditumbuk dan dicampur dengan satu liter air. Setelah didiamkan 15 menit dan disaring, ditambahkan sedikit lidah buaya sebagai perekat alami. Bila tak ada, cukup gunakan satu sendok teh detergen cair,” jelas Dian, mahasiswa KKN yang memandu kegiatan itu.

Pestisida nabati ini, menurutnya, efektif mengusir kutu daun, kutu kebul, tungau, serta ulat penghisap yang selama ini menjadi musuh utama petani cabai. “Lebih dari itu, ramuan ini aman bagi lingkungan, mudah dibuat, dan sangat hemat biaya,” imbuhnya.

Pestisida ini bisa digunakan hingga tujuh hari setelah pembuatan. Namun semakin lama difermentasi, efeknya justru semakin kuat. Konsep ini sejalan dengan pendekatan pertanian ramah lingkungan yang mulai digalakkan di berbagai daerah.

Para peserta yang hadir siang itu seperti menemukan harapan baru. Tak lagi sepenuhnya bergantung pada racikan kimia pabrikan yang mahal dan tak ramah lingkungan, kini mereka diperkenalkan pada alternatif lokal yang berakar dari pengetahuan tradisional dan pendekatan ilmiah sederhana.

Kepala Dusun setempat, dalam sambutannya, menyebut kegiatan mahasiswa ini sebagai langkah awal yang penting. “Kami harap ilmu seperti ini bisa terus ditularkan,” ujarnya singkat.

Langkah kecil dari Desa Tonasa itu barangkali tak langsung mengubah wajah pertanian nasional. Tapi ia menjadi bagian dari gelombang perubahan yang lebih luas: mengembalikan kendali pertanian ke tangan petani, dengan pengetahuan, inovasi lokal, dan semangat menjaga bumi.

Editor : Chairur Rahman