MR.com, Sumbar| Dalam dinamika pembangunan nasional, kebijakan baru seringkali menjadi sorotan. Tak jarang, kebijakan tersebut menawarkan manfaat yang luas, tak terkecuali bagi dunia pendidikan dan pembangunan infrastruktur sekolah.
Namun, di balik harapan tersebut, muncul pula kekhawatiran dan tantangan yang perlu diwaspadai, terutama terkait pelaksanaan dan kualitas hasil akhirnya.
Pada tahun 2025, Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengalokasikan dana lebih dari Rp100 miliar untuk program revitalisasi sekolah di Sumatera Barat.
Dana besar ini diperuntukkan bagi SMA, SMK, dan SLB, dengan nilai bantuan berkisar antara Rp200 juta hingga Rp1,2 miliar per sekolah. Skema yang diusung dikenal dengan Program Peningkatan Sarana Prasarana Sekolah (P2SP), di mana dana langsung dikirim ke rekening sekolah penerima, dan seluruh pelaksanaan pembangunan dilakukan secara swakelola oleh pihak sekolah.
Harapan dan Realitas
Kebijakan ini tentu membawa harapan besar, terutama dalam mempercepat proses perbaikan dan peningkatan fasilitas pendidikan. Sekolah diharapkan mampu mandiri dan lebih cepat dalam mengelola pembangunan fasilitas mereka sendiri. Akan tetapi, di balik peluang tersebut, muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan.
Sebagian pihak menyampaikan bahwa sekolah bukanlah ahli di bidang konstruksi. Mereka khawatir kualitas bangunan yang dihasilkan tidak memenuhi standar teknis yang aman dan sesuai regulasi.
“Sekolah seharusnya fokus mendidik siswa, bukan menjadi pelaksana proyek bangunan. Kalau ada kekurangan kualitas, siapa yang akan bertanggung jawab?” ujar seorang pemerhati pendidikan di Sumatera Barat.
Tanggapan Kontraktor Lokal dan Awal Kekecewaan
Di sisi lain, kontraktor lokal menyatakan kekecewaannya. Mereka merasa tidak diberi kesempatan berpartisipasi dalam proyek ini, padahal mereka memiliki kompetensi dan pengalaman yang cukup untuk mengelola pembangunan sekolah.
Ketidakberdayaan kontraktor lokal ini tidak hanya menimbulkan rasa kecewa, tetapi juga berpotensi menghambat perputaran ekonomi di daerah.
Dikutip dari media investigasinews.com, Ketua DPD Gapeksindo Sumatera Barat, Ir. H. Soetrisno, bersama Ketua DPC Gapeksindo Kota Padang, Ir. Erwin Isril, ST, MT, IPP, menyatakan akan mempertanyakan kebijakan ini kepada pihak terkait.
Mereka menilai bahwa skema swakelola perlu dikaji ulang agar kualitas pembangunan tetap terjaga dan kontraktor lokal tetap memiliki ruang berpartisipasi.
Evaluasi dan Risiko
Publik pun mulai mempertanyakan efektivitas dari skema swakelola ini. Apakah mampu berjalan optimal tanpa menimbulkan masalah baru di kemudian hari? Pemerintah daerah dan pusat diharapkan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan program ini.
Jika tidak, ada risiko potensi korupsi maupun kegagalan konstruksi yang berakibat fatal, mengingat pekerjaan tidak dikerjakan oleh ahlinya.
Menuju Kebijakan yang Berimbang
Kebijakan yang mengedepankan swakelola memang menawarkan kecepatan dan efisiensi, namun harus diimbangi dengan standar kualitas dan keberpihakan terhadap kontraktor lokal.
Pemerintah perlu memastikan bahwa pelaksanaan pembangunan berjalan sesuai dengan standar teknis, serta melibatkan para ahli yang kompeten. Selain itu, pengawasan yang ketat dan transparansi menjadi kunci utama agar program ini benar-benar memberi manfaat optimal bagi masyarakat.
Akhirnya, kebijakan ini hendaknya tidak hanya dilihat sebagai solusi cepat, tetapi juga sebagai langkah strategis yang berkelanjutan demi kemajuan pendidikan dan pembangunan yang berkualitas di Sumatera Barat maupun daerah lainnya.
Sebab, pembangunan infrastruktur yang tidak berkualitas bukan hanya berisiko gagal, tetapi juga dapat menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan.
Penulis : Chiarur Rahman(wartawan muda)