MR.com, Padang| Di tengah riuhnya aktivitas pendidikan yang menggeliat di SMP Negeri 4 Padang, geliat pembangunan seharusnya menjadi tanda kemajuan. Namun, suasana yang terekam di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Proyek pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) yang digadang-gadang sebagai solusi atas kebutuhan ruang belajar justru menampakkan wajah muram, keselamatan terabaikan, standar konstruksi dilanggar, dan profesionalisme ditanggalkan di tengah kepulan debu dan deru mesin.
Pantauan langsung awak media menemukan sebuah pemandangan yang mencengangkan. Aktivitas konstruksi berlangsung hanya selemparan batu dari gerombolan siswa berseragam putih-biru yang lalu-lalang.
Tanpa garis pembatas yang memadai, tanpa pagar pengaman yang kokoh, proyek senilai Rp 1.436.989.400 dari APBD Kota Padang tahun anggaran 2025 ini berjalan bak proyek swadaya di halaman belakang.
Irmon (41), warga yang melintas, menjadi saksi bisu atas pemandangan ironis tersebut. “Sungguh tidak profesional. Kalau sampai ada anak yang cedera karena area proyek terbuka begini, siapa yang bertanggung jawab?” ujarnya. Kekhawatiran Irmon bukanlah alarm kosong.
Ia mencerminkan keresahan publik terhadap budaya abai yang seolah telah membatu di ranah pelaksanaan teknis.
Bukan hanya keselamatan siswa yang diabaikan. Para pekerja proyek pun tampak bekerja dalam kondisi jauh dari standar keselamatan konstruksi.
Tanpa helm proyek, tanpa sepatu bot, dan tanpa sarung tangan, para pekerja terlihat mengangkut material dan mengoperasikan alat berat dengan perlindungan minim. Dalam dunia teknik sipil, ini adalah pelanggaran mendasar.
APD (Alat Pelindung Diri) bukan sekadar atribut seremonial, melainkan garis pertahanan terakhir dalam sistem manajemen risiko proyek. Sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan Permenakertrans No. 8 Tahun 2010, setiap pelaksana konstruksi wajib menjamin bahwa semua tenaga kerja dilengkapi dan menggunakan APD sesuai standar. Mengabaikannya adalah bentuk pengabaian hukum dan etika profesional.
Ketika konfirmasi dimintakan kepada Well of Sonora, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Disdik Kota Padang, tanggapan yang diterima justru terkesan menyepelekan.
“Makasih infonya bg, kemarin sudah dipasang pagar safetyline dan rambu-rambu akan diingatkan kepada kontraktor untuk memasang kembali,” jawabnya melalui pesan singkat.
Alih-alih memberikan penegasan atau komitmen atas evaluasi teknis yang konkret, pernyataan ini justru membuka pertanyaan besar: Sejauh mana peran dan fungsi pengawasan dari pihak pemerintah dalam proyek-proyek infrastruktur pendidikan?
Dalam ekosistem konstruksi yang profesional, keberadaan konsultan pengawas bukanlah opsional, melainkan mutlak. Tugasnya bukan sekadar memastikan pekerjaan berjalan sesuai gambar dan spesifikasi, tetapi juga menjamin bahwa pelaksanaan di lapangan tunduk pada norma K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Ketidakhadiran pengawasan ketat dalam proyek ini mengindikasikan lemahnya fungsi kontrol yang semestinya bersifat melekat, bukan insidental.
Pembangunan RKB seharusnya menjadi pijakan untuk masa depan pendidikan yang lebih baik. Namun, ketika proyek dijalankan tanpa mengindahkan keselamatan siswa maupun pekerja, hasil akhirnya bukan kemajuan, melainkan potensi bencana. Proyek ini dapat menjadi monumen kegagalan manajemen risiko, jika tidak segera dikoreksi.
Kini, saatnya seluruh pemangku kepentingan, kontraktor pelaksana, konsultan pengawas, hingga dinas terkait untuk mengambil langkah tegas. Penegakan regulasi dan profesionalisme teknis tak bisa ditawar-tawar. Karena dalam dunia konstruksi, keselamatan bukan pilihan, ia adalah kewajiban hukum dan moral.(tim)
Editor : Chairur