MR.com, Sijunjung| Sebuah video berdurasi 21 detik beredar viral di media sosial. Dalam rekaman itu, dua unit ekskavator, satu berwarna hijau, satu lagi oranye. Dua alat berat itu tampak mencakar perut bumi di tepian sungai berlumpur. Di sudut video tertera label LMR-RI, seolah menjadi penanda bahwa aktivitas itu bukan sembarang aktivitas tambang.
Lokasi kejadian disebut berada di wilayah hukum Polres Sijunjung, Sumatera Barat, kawasan yang kini kian dikenal sebagai “lumbung emas tanpa izin”.
Penyakit Akut Bernama PETI
Ketika dihubungi media via sambungan telepon, Sutan Hendy Alamsyah, Komisariat LMR-RI Provinsi Sumatera Barat, tak menutupi kegelisahannya.
“PETI ini sudah seperti penyakit akut. Hampir semua elemen ikut menikmati hasilnya,” ujarnya, Selasa (14/10/2025).
Alumni Fakultas Arsitektur Teknik Universitas Indonesia (UI) angkatan 1989 itu menyebut, tambang emas tanpa izin alias PETI bukan lagi praktik sporadis. Ia menjelma menjadi ekosistem kejahatan terstruktur, melibatkan oknum aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, bahkan politisi.
“Di Solok Selatan, ada tokoh politik dan anggota dewan yang ikut bermain,” kata Sutan.
Ia menilai, lemahnya penegakan hukum menjadi akar maraknya praktik tambang ilegal di Sumatera Barat. “Kasus ilegal mining ini bukan soal kurangnya aturan, tapi lemahnya penerapan hukum terhadap pelaku,” ujarnya tajam.
Dugaan Aliran Dana, Upeti dari Perut Bumi
Sutan menduga, lemahnya penindakan tak lepas dari “aliran dana koordinasi”, istilah halus untuk menyebut suap yang mengalir dari pelaku tambang ke oknum penegak hukum.
“Nyaris setiap wilayah PETI ada ‘setoran koordinasi’. Bahkan ada oknum Kapolres yang disebut-sebut menerima aliran dana itu,” ucapnya tanpa ragu.
Jumlahnya diduga fantastis.
Sumber di internal LMR-RI menyebutkan, perputaran uang hasil tambang ilegal di Sumatera Barat bisa menembus Rp40 miliar per bulan.
Sebagian, menurut sumber itu, “mengalir hingga ke Jalan Sudirman Padang” juga lokasi sejumlah kantor strategis pemerintahan provinsi berdiri.
Instruksi Tak Bernyali
Padahal, Gubernur Sumatera Barat telah mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 2/Inst-2025 tentang penertiban dan penegakan hukum terhadap aktivitas PETI, tertanggal 19 September 2025.
Namun di lapangan, instruksi itu bak macan kertas.
“Pernyataan gubernur keras, tapi realisasi nihil,” ujar Sutan.
Kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya, aktivitas PETI kian terbuka. Oknum pegawai negeri sipil di lingkungan Dinas Perhubungan Kabupaten Pasaman, yang disebut memiliki enam unit ekskavator, kini memperluas operasi ke Kabupaten Sijunjung. Dua unit alat beratnya disebut sudah berpindah lokasi untuk membuka lahan baru di wilayah hukum Polres setempat.
Respons Polisi dan Ancaman dari Hilir
Dikonfirmasi terkait video viral tersebut, Kapolres Sijunjung AKBP Willian Harbensyah, S.I.K., M.H., membenarkan telah menerima informasi serupa.
“Ini video sama persis, saya sudah dapat dari beberapa media lain. Terima kasih infonya, kita tindaklanjuti di lapangan,” ujarnya singkat melalui sambungan telepon, Rabu (15/10/2025).
Sementara dari hilir, Bupati Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, Dr. H. Sudirman Amby, melayangkan ancaman serius.
Ia berencana membendung aliran Sungai Kuantan bila aktivitas PETI di hulu, yakni Sungai Batang Palangki, di Kabupaten Sijunjung tak segera dihentikan.
“Kalau Pemerintah Kabupaten Sijunjung tak reaktif, kami pastikan akan membendung Sungai Kuantan,” tegas Sudirman.
Ancaman itu bukan tanpa alasan. Jika bendungan dilakukan, banjir besar berpotensi melanda kawasan hunian, lahan pertanian, hingga pusat kota Sijunjung. Namun, pemerintah daerah seolah menanggapinya dengan dingin.
Pontoon dan Dompeng Menguasai Sungai
Fakta di lapangan menunjukkan, setelah ratusan ekskavator merajalela di daratan, kini kapal ponton dan dompeng mengambil alih peran di perairan.
Sumber media di Muaro Sijunjung menyebut, kapal-kapal tambang liar itu kini bebas beroperasi di sepanjang Sungai Batang Palangki, dari Nagari Siluka hingga Durian Gadang.
“Tak ada yang mengganggu. Mereka bekerja siang malam,” kata sumber itu lirih.
Dengan aliran dana besar, dukungan oknum kuat, dan hukum yang mandul, tambang emas tanpa izin di Sijunjung seolah menjelma menjadi negara kecil dalam negara, dengan hukum dan pajaknya sendiri.
Dan hingga kini, hanya video 21 detik itu yang berbicara menjadi bukti visual dari ketiadaan nyali negara menegakkan hukum di atas tanah sendiri.
Hingga berita ini diterbitkan media masih dalam mengumpulkan data-data dan informasi serta upaya konfirmasi pihak terkait lainnya.
Penulis : Chairur Rahman