MR.com, Padang | Pelaksanaan proyek negara di bawah pengelolaan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera V (BWSS V) Padang, Satker SNVT PJPA WS IAKR Provinsi Sumatera Barat, diduga tidak berjalan sesuai spesifikasi teknis dan berpotensi melanggar ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
Proyek yang dimaksud merupakan kegiatan rehabilitasi jaringan utama daerah irigasi kewenangan daerah provinsi di Sumatera Barat, dengan total anggaran mencapai Rp56 miliar. Dana tersebut diperuntukkan bagi rehabilitasi 32 jaringan irigasi yang tersebar di 14 kabupaten dan kota di provinsi ini.
Namun, di salah satu titik kegiatan yang berlokasi di Kawasan Limau Manis, Kota Padang, pantauan lapangan pada Jumat (8/11) menunjukkan adanya sejumlah kejanggalan dalam pelaksanaan pekerjaan. Sejumlah pekerja tampak tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) sesuai standar keselamatan dan tidak memenuhi ketentuan SNI yang diatur dalam Permen PUPR Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pedoman K3 Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum.
Selain aspek keselamatan, indikasi penyimpangan juga terlihat pada pekerjaan pasangan batu dinding saluran irigasi. Susunan batu tampak tidak beraturan dan terkesan asal pasang, sehingga mengabaikan nilai estetika dan kekuatan struktur. Kondisi batu yang masih berlumpur dan tidak dibersihkan sebelum dipasang juga menimbulkan kekhawatiran akan menurunnya mutu dan daya rekat pasangan batu terhadap adukan semen.
Dari pengamatan di lapangan, adukan pasir-semen (mortar) yang digunakan diduga tidak mengacu pada spesifikasi teknis karena diproduksi tanpa menggunakan box takaran sebagaimana diatur dalam Spesifikasi Umum Pekerjaan Irigasi (Direktorat Jenderal SDA, 2020).
Kecurigaan lain mengarah pada asal-usul material batu, pasir, dan kerikil yang digunakan. Proyek yang dilaksanakan oleh PT Brantas Abipraya (Persero) itu diduga memanfaatkan material dari quarry yang belum memiliki izin lengkap. Dugaan tersebut menguat setelah seorang sopir pengangkut material mengaku bahwa batu yang diangkut berasal dari aliran sungai di kawasan Limau Manis, bukan dari lokasi quarry berizin.
Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon pada Sabtu (9/11), Syahruddin, pihak PT Brantas Abipraya yang akrab disapa Ujang Mutia, membantah tudingan pelanggaran K3.
Menurutnya, perusahaan telah menyediakan APD lengkap bagi seluruh pekerja. “Kami sudah siapkan semua alat keselamatan, hanya saja pekerja yang sering lalai memakainya,” ujarnya.
Terkait material, Ujang menegaskan bahwa pasokan batu, pasir, dan kerikil berasal dari quarry milik PT Juragan Muda Bersaudara di Nagari Baruang-baruang Balantai, Kabupaten Pesisir Selatan.
“Material kami kirim dari quarry yang dikelola oleh perusahaan itu, bukan dari sungai sekitar,” tambahnya.
Namun, dari dokumen izin quarry yang diberikan kepada redaksi, izin yang dimiliki PT Juragan Muda Bersaudara hanya mencakup penambangan sirtu (pasir dan batuan halus), tanpa mencantumkan izin pengambilan batuan besar sebagaimana digunakan di lapangan. Hal ini menimbulkan dugaan adanya ketidaksesuaian izin operasional dengan praktik di lapangan, yang berpotensi melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari aspek administratif, proyek bernomor HK0210-BWS5.9.1/354 ini seharusnya mulai dikerjakan sejak 2 September 2025. Pekerjaan mencakup pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi primer dan sekunder di daerah dengan luas di bawah 1.000 hektare, termasuk di Kabupaten Padang Pariaman.
Hingga pekan kedua November, progres fisik proyek baru mencapai sekitar 45 persen, dengan alasan keterlambatan akibat proses sosialisasi kepada masyarakat terdampak, terutama pemilik kolam ikan di sekitar lokasi irigasi.
“Pekerjaan baru berjalan sekitar 20 hari kalender. Item pekerjaan kami hanya pasangan batu saluran,” jelas Ujang.
Namun demikian, dari sisi pengawasan dan tanggung jawab hukum, pelaksanaan proyek ini tetap menjadi sorotan. Jika terbukti melanggar ketentuan spesifikasi teknis dan standar K3, maka kontraktor maupun pejabat pembuat komitmen (PPK) dapat terancam sanksi administratif dan pidana sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi masih berupaya memperoleh klarifikasi dari pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang dan Direktorat Jenderal SDA Kementerian PUPR terkait dugaan pelanggaran teknis dan K3 dalam pelaksanaan proyek tersebut.
Penulis : Chairur Rahman
Editor : Redaksi


