Mitra Rakyat
Monday, November 10, 2025, Monday, November 10, 2025 WIB
Last Updated 2025-11-10T06:18:08Z
Padang

Jejak Opukenegara Dari ASN PUPR ke Kontraktor, Bayang Integritas di Balik Proyek Jembatan Belasan Miliar

banner 717x904


MR.com, Padang | Nama Opukenegara, yang akrab disapa Ken, bukan nama asing di dunia proyek infrastruktur Sumatera Barat. Dahulu dikenal sebagai pejabat di lingkungan Kementerian PUPR, pria ini pernah menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Satker PJN dan Satker Pengawasan dan Perencanaan Jalan Nasional(Satker P2JN), bahkan sempat menduduki posisi strategis sebagai Kepala Satker. 


Kini, setelah pensiun dari statusnya sebagai ASN, nama Opukenegara kembali mencuat, bukan lagi sebagai pejabat negara, melainkan kontraktor pelaksana proyek-proyek yang dibiayai dari kas negara.


Dari Pengendali Anggaran ke Penerima Kontrak

Perubahan posisi Ken dari birokrat pengendali proyek menjadi kontraktor pelaksana menuai sorotan publik. Dalam dunia pengadaan pemerintah, hubungan antara mantan pejabat teknis dengan proyek yang dulu berada di bawah kendalinya sering kali menimbulkan pertanyaan etik. 



Pasal 17 huruf (a) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jelas mengatur mengenai potensi benturan kepentingan, khususnya bagi pejabat yang memiliki rekam jejak langsung dalam pengelolaan anggaran atau perencanaan proyek sebelumnya.



Baca : Mutu Bahu Jalan Nasional Diduga Bermasalah, Proyek PT Arupadhatu Adisesanti di BPJN Sumbar Disorot


Kini, Ken berkiprah melalui perusahaan penyedia jasa konstruksi PT Arupadhatu Adisesanti, yang tengah menangani beberapa paket pergantian jembatan di ruas jalan nasional dengan nilai kontrak mencapai belasan miliar rupiah. Salah satunya adalah paket pergantian Jembatan Air Gadang di ruas Padang–Painan, di bawah naungan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sumbar.


Indikasi Pekerjaan Tak Sesuai Spek

Namun di lapangan, proyek yang digarap PT Arupadhatu Adisesanti itu justru menimbulkan tanda tanya besar. Tim investigasi menemukan sejumlah indikasi pelanggaran teknis dalam pelaksanaan pekerjaan saat menulusuri lokasi pada Rabu(5/11) waktu lalu.


Paket pergantian jembatan itu disinyalir inklusif dengan pekerjaan bahu jalan, yang menurut rencana seharusnya memenuhi standar ketebalan minimal 15 cm sebagaimana termuat dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) kontrak. Faktanya, hasil pengukuran di beberapa titik memperlihatkan ketebalan bahu jalan bervariasi, bahkan di bawah 15 cm.


Lebih jauh, kondisi pekerjaan menunjukkan adanya pelaksanaan di area tergenang air, yang secara teknis sangat tidak memenuhi prinsip K3 dan mutu beton. Menurut Permen PUPR No. 07/PRT/M/2019 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, pekerjaan yang dilakukan pada permukaan lembab atau basah tanpa perbaikan dasar perkerasan dapat menurunkan daya dukung struktur jalan secara signifikan.


Tak hanya itu, mutu beton pada dinding jembatan tampak tidak senyawa, menunjukkan indikasi segregasi material akibat pencampuran yang tidak homogen, salah satu penyebab utama penurunan kekuatan tekan beton di bawah mutu rencana. 


Bila dugaan ini benar, maka secara hukum proyek ini dapat dikategorikan sebagai pelaksanaan tidak sesuai spesifikasi teknis (out of spec), pelanggaran yang dapat berimplikasi pada tuntutan ganti rugi sesuai Pasal 124 KUHP Perdata dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika ditemukan unsur memperkaya diri sendiri atau pihak lain.


Bungkamnya Para Pihak

Upaya konfirmasi yang dilakukan media kepada Opukenegara tidak membuahkan hasil. Mantan pejabat yang kini menjadi kontraktor itu memilih diam, tak menanggapi pertanyaan soal temuan teknis di lapangan. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh PPK 2.3 BPJN Sumbar, Yanpurwandi, yang turut dikonfirmasi terkait dugaan penyimpangan spesifikasi. Alih-alih menjelaskan kepada publik, Yanpurwandi juga bungkam, menyisakan ruang kosong bagi spekulasi publik tentang integritas pengawasan proyek negara.


Bayang Etika dan Kepatuhan

Fenomena “ASN bertransformasi menjadi kontraktor” bukan hal baru dalam dunia infrastruktur, namun menjadi sensitif ketika bersinggungan dengan proyek dari lembaga yang sama. Dalam perspektif hukum administrasi dan etik penyelenggara negara, kondisi ini bisa menimbulkan conflict of interest yang mencederai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi pelaksanaan proyek.


"Seorang mantan pejabat teknis idealnya harus menahan diri untuk tidak terlibat langsung pada proyek di lingkungan kerja sebelumnya selama jangka waktu tertentu," ujar seorang ahli hukum administrasi lulusan Unand yang enggan disebutkan namanya pada Senin(10/11) di Padang.


"Kalau tidak, publik akan selalu menilai ada pengaruh sisa jabatan dalam proses tender atau pelaksanaan," imbuhnya.


Kini, publik menunggu sikap Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Sumatera Barat, apakah akan melakukan evaluasi mutu pekerjaan dan audit teknis independen terhadap proyek-proyek yang digarap oleh perusahaan milik mantan pejabat PUPR itu.


Sebab di balik hamparan beton jembatan dan bahu jalan yang retak itu, tersimpan pertanyaan besar, apakah pembangunan ini benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau hanya perpanjangan tangan kekuasaan lama yang berganti baju menjadi kontraktor.


Hingga berita ini diterbitkan media masih menunggu klarifikasi kontraktor dan PPK serta upaya konfirmasi pihak terkait lainnya.


Penulis : Chairur Rahman

Editor    : Redaksi


Terkini