MR.com,Pasaman Barat| Solar bersubsidi di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, kembali menjadi barang langka. Di SPBU Batang Toman, antrean truk mengular hingga ratusan meter. Namun di balik kelangkaan itu, tersingkap dugaan permainan kotor, bahan bakar bersubsidi yang seharusnya menjadi hak rakyat, justru mengalir deras ke jantung operasi tambang emas ilegal.
Indikasi penyalahgunaan BBM subsidi ini menyeruak dari laporan warga dan pengakuan para sopir. Mereka menuding solar bersubsidi disedot oleh jaringan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang beroperasi di berbagai kecamatan, mulai dari Pasaman, Talamau, Gunung Tuleh, Sungai Aur, hingga Ranah Batahan.
“Kami disuruh hemat solar, tapi BBM subsidi malah disedot buat ekskavator di tambang ilegal. Ini bukan soal sistem, tapi soal aparat yang membiarkan,” kata Heru, seorang sopir truk yang sudah tiga jam mengantri di SPBU Batang Toman, Rabu (29/10).
Menurut Heru, kelangkaan solar tidak hanya mematikan mata pencaharian sopir dan petani, tapi juga mengganggu rantai distribusi pangan di wilayah itu. “Kalau solar susah, beras bisa naik, sayur pun terlambat sampai pasar. Tapi di lokasi tambang, alat berat malah terus beroperasi siang malam,” ujarnya dengan nada getir.
Solar untuk Ekskavator, Bukan untuk Rakyat
Berdasarkan penelusuran lapangan, satu unit ekskavator yang digunakan di tambang emas ilegal membutuhkan sedikitnya 200–300 liter solar per hari. Jumlah itu setara dengan kebutuhan 10–15 truk angkutan barang.
Sumber di lapangan menyebutkan, BBM subsidi tersebut tidak dibeli langsung oleh pengusaha tambang, melainkan disalurkan melalui jaringan pengepul yang sudah memiliki “backing” kuat. Solar diduga disalurkan dari SPBU tertentu, kemudian diangkut dengan jeriken atau drum ke lokasi tambang.
Operasi ini berjalan sistematis, rapi, dan nyaris tanpa hambatan hukum. Truk pengangkut solar lolos dari razia, aparat di lapangan seolah menutup mata, dan kegiatan tambang ilegal tetap berlangsung terang-terangan di kawasan hutan lindung serta sepanjang aliran sungai.
“Kalau aparat serius, mustahil solar bisa mengalir sedemikian lancar ke tambang-tambang itu. Ini pasti ada jaringan di baliknya,” kata seorang aktivis lingkungan Pasaman Barat yang enggan disebut namanya.
Negara Kalah di Tanah Sendiri
Secara hukum, tindakan ini jelas melanggar. Penyalahgunaan BBM bersubsidi diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dengan ancaman pidana enam tahun penjara dan denda Rp60 miliar. Sementara aktivitas tambang tanpa izin melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dengan ancaman lima tahun penjara dan denda Rp100 miliar.
Namun dalam praktiknya, yang dijerat hukum justru para pekerja tambang kecil. Sementara para pemodal dan mafia BBM subsidi tetap bebas berkeliaran.
“Pertanyaannya sederhana, kenapa yang ditangkap cuma operator ekskavator, bukan pemodal atau pemilik alat berat?” ujar pengamat hukum pidana Universitas Andalas, Yusran Datuak Parpatiah. “Hukum kita sering berhenti di level pelaksana, bukan pengendali. Padahal, kejahatan seperti ini tidak mungkin hidup tanpa perlindungan dari dalam sistem itu sendiri.”
Aparat Bicara, Publik Masih Meragukan
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat, Irjen Pol Gatot Tri Suryanta, saat dikonfirmasi salah satu tim media membenarkan bahwa pihaknya tengah menjalankan instruksi Gubernur Sumatera Barat tentang penertiban aktivitas tambang ilegal.
“Ini sedang dijalankan secara simultan bersama seluruh pemangku kepentingan. Edukasi hukum dan penertiban dilakukan paralel,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Rabu (29/10).
Gatot mengaku Polri tidak hanya menegakkan hukum, tetapi juga mendorong solusi permanen. “Dari 17 provinsi yang mengajukan wilayah pertambangan rakyat, hanya 3 yang disetujui, termasuk Sumatera Barat. Kami ingin ada jalan legal bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup di sektor itu,” katanya.
Namun, di lapangan, suara warga berbeda. Mereka menilai penegakan hukum masih tebang pilih dan hanya menyentuh permukaan.
Lubang Hukum yang Tak Pernah Ditutup
Hutan rusak, sungai tercemar, dan lubang-lubang tambang menganga menjadi warisan kelam. Pemerintah daerah pun tampak gamang, sementara penegakan hukum kerap berhenti di tengah jalan.
“Sudah bertahun-tahun tambang ilegal di Pasbar ini mencuat, tapi hasilnya nihil. Yang ditangkap hanya pekerja, bukan dalangnya,” kata tokoh masyarakat Kinali, Zainal Arif.
Ia menegaskan, jika negara terus kalah di hadapan mafia tambang dan solar, maka kepercayaan rakyat terhadap hukum akan runtuh. “Ketika hukum tak lagi bekerja, rakyat akan mencari jalannya sendiri. Dan itu berbahaya,” ucapnya.
Catatan redaksi
Praktik penyalahgunaan BBM subsidi untuk pertambangan ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia adalah bentuk nyata persekongkolan ekonomi gelap yang melukai keadilan sosial, mencederai kepercayaan publik, dan memperlihatkan bahwa hukum sering kali lumpuh di depan uang dan kekuasaan.
Hingga berita ini diterbitkan media masih tahap mengumpulkan data dan informasi serta upaya konfirmasi pihak terkait lainnya.
Penulis : Dedi Rimba
Editor : Redaksi

