MR.com, Padang | Proyek pengembangan Jaringan Air Tanah dan Air Baku senilai Rp13 miliar yang dikerjakan PT Brantas Abipraya menyisakan tanda tanya serius. Di balik nilai kontrak yang tidak kecil, proyek di bawah pengelolaan Satker SNVT PJPA WS IAKR Sumatera Barat, Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang (BWSS V Padang), itu diduga berjalan tanpa pengawasan independen yang memadai.
Penelusuran di lokasi pekerjaan pada Rabu (17/12) lalu tidak menemukan keberadaan konsultan supervisi. Ketiadaan tersebut semakin mencolok ketika papan proyek (Plang Proyek) yang seharusnya menjadi etalase keterbukaan informasi publik terlihat tidak mencantumkan nama perusahaan konsultan pengawas. Padahal, informasi tersebut merupakan elemen wajib dalam setiap proyek yang dibiayai anggaran negara.
Situasi ini bukan sekedar soal administrasi yang terlewat. Absennya identitas konsultan supervisi pada proyek bernilai belasan miliaran rupiah itu membuka dugaan lebih serius, apakah proyek ini benar-benar diawasi, atau justru dibiarkan berjalan tanpa kontrol eksternal yang sah?
Baca : Kepala BWSS V Padang "Bungkam" Publik Minta Tranparansi Proyek 32 Irigasi
Dalam rezim hukum jasa konstruksi, pengawasan bukan pilihan, melainkan kewajiban. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi menempatkan pengawas sebagai instrumen pengendali mutu, volume, spesifikasi teknis, serta keselamatan dan kesehatan kerja. Tanpa pengawasan independen, pelaksanaan proyek rawan menyimpang sejak tahap awal.
Lebih jauh, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menegaskan prinsip transparansi dan akuntabilitas sebagai fondasi pengelolaan keuangan negara. Ketika pengawasan tidak tampak dan informasi pokok disembunyikan atau dihilangkan, prinsip-prinsip tersebut kehilangan makna substantif.
Secara teknis, proyek dengan nomor kontrak HK.02.03/01/SNVT-PJPA-WS.IAKR/ATAB-II/IX/2025 ini dijadwalkan berlangsung selama 108 hari kalender sejak 15 September 2025, dengan masa pemeliharaan 180 hari. Dalam praktik konstruksi, kombinasi nilai kontrak besar dan durasi pelaksanaan singkat justru menuntut pengawasan ketat dan berlapis. Tanpa itu, resiko deviasi pekerjaan diduga akan terjadi, dimulai dari pengurangan spesifikasi hingga cacat mutu struktural yang menjadi keniscayaan.
Dari perspektif hukum keuangan negara, persoalan ini berpotensi berujung serius. Jika terbukti proyek dijalankan tanpa pengawasan sebagaimana dipersyaratkan kontrak dan regulasi, maka terdapat indikasi pelanggaran yang dapat berimplikasi pada kerugian negara. Temuan semacam ini lazim menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahkan dapat berkembang menjadi temuan hukum apabila terdapat kelebihan bayar atau pekerjaan fiktif secara kualitas.
Tanggung jawab tidak berhenti pada pelaksana proyek. Pejabat pembuat komitmen (PPK) dan jajaran pengelola anggaran berpotensi dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian dalam memastikan fungsi pengendalian berjalan. Dalam banyak perkara korupsi konstruksi, lemahnya pengawasan justru menjadi pintu masuk penyimpangan anggaran.
Hingga berita ini diturunkan, PT Brantas Abipraya maupun pihak BWSS V Padang belum memberikan klarifikasi terbuka terkait keberadaan konsultan supervisi. Keheningan ini justru memperlebar ruang spekulasi publik.
Pada akhirnya, proyek penyediaan air baku bukan sekedar urusan teknis, melainkan menyangkut hajat hidup orang banyak dan integritas pengelolaan keuangan negara. Ketika pengawasan tak terlihat, yang dipertaruhkan bukan hanya mutu bangunan, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.
Hingga berita diterbitkan redaksi masih menunggu klarifikasi dari Kepala Satker, PPK, dan upaya konfirmasi pihak terkait lainnya.
Penulis : Chairur Rahman
(Wartawan Madya)
Editor : Redaksi

