MR.com, Pessel| Di balik pintu jati itu, tak ada suara yang menyambut. Tak ada langkah tergesa staf, tak terdengar dering telepon, apalagi suara ketukan keyboard komputer. Yang ada hanya sunyi. Sunyi yang menjelma jadi simbol-simbol keterputusan antara pejabat publik dan hak masyarakat untuk tahu.
Di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, ruang kerja Kepala Dinas kini bukan sekadar tempat pengambilan kebijakan. Ia berubah menjadi metafora, tentang birokrasi yang enggan menjawab, dan kekuasaan yang mulai alergi terhadap pertanyaan.
Wartawan bukan datang untuk mengadili. Mereka hanya ingin tahu, mengapa proyek rehabilitasi jalan bernilai miliaran rupiah tetap dibayar lunas, sementara kondisi fisik di lapangan jauh dari kata tuntas? Retakan masih tampak, permukaan bergelombang, dan spesifikasi diduga tak sesuai dokumen kontrak. Belum lagi bisik-bisik warga soal mutu pengerjaan yang dipertanyakan.
Namun, jawaban tak kunjung datang. Yang keluar hanya satu kalimat dari seorang perempuan muda yang memperkenalkan diri sebagai sekretaris pribadi kepala dinas. " Kadis takut salah jawab," katanya lirih.
Ucapan itu terdengar ringan, mungkin dianggap sepele. Tapi jika yang dipersoalkan adalah proyek negara dengan potensi kerugian mencapai Rp234 juta, maka diam bukan lagi kebijakan, melainkan indikasi. Ada sesuatu yang tidak beres dan sengaja dihindari.
Sorotan Makin Tajam
Diam itu bukan tanpa dampak. Apalagi jika terjadi di tengah kepercayaan yang tengah tumbuh terhadap kepemimpinan Bupati H. Hendrajoni. Selama ini, citra Bupati sebagai pemimpin yang responsif, terbuka, dan berorientasi pada pelayanan publik, mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Tapi semua itu bisa tercoreng oleh sikap satu anak buahnya.
Sikap apatis Kepala Dinas PUPR justru menjadi antitesis dari semangat reformasi birokrasi yang kerap digaungkan. Lebih parah lagi, ia berpotensi menjerumuskan citra bupati sebagai pemimpin tertinggi. Di mata publik, pejabat publik adalah satu tubuh. Bila satu bagian menolak bicara, maka kepala dianggap turut membiarkan. Pertanyaan pun mencuat, apakah Bupati tahu? Atau sengaja membiarkan?
Jejak Rekanan Lama, Masalah Baru
Kisah tak berhenti di satu proyek. Nama PT Sadewa Karya Tama, rekanan yang menangani proyek jalan paket 4 yang kini jadi sorotan, kembali muncul dalam proyek lainnya. Kali ini proyek jalan nasional senilai Rp2,1 miliar di ruas Kambang–Inderapura–Tapan. Logikanya sederhana, jika pekerjaan sebelumnya dipertanyakan, kenapa perusahaan yang sama kembali dipakai?
Pertanyaan ini yang terus menggelinding di tengah publik. Namun lagi-lagi, tak ada jawaban. Yang muncul hanyalah langkah cepat menghindar, serta keengganan untuk membuka dokumen kontrak, laporan pengawasan, atau berita acara pembayaran.
Ketika Transparansi Dianggap Ancaman
Inilah paradoks birokrasi lokal, transparansi yang semestinya menjadi nyawa anggaran publik, justru dipandang sebagai ancaman. Seolah-olah membuka data sama artinya dengan membuka aib. Padahal, informasi publik adalah hak, bukan hadiah.
Dalam praktik pemerintahan yang sehat, ruang kepala dinas seharusnya menjadi ruang paling terbuka, bukan hanya untuk wartawan, tapi untuk siapa pun yang ingin tahu ke mana anggaran daerah mengalir.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Wartawan disambut dengan pembatas, bukan klarifikasi. Data disembunyikan, bukan dijelaskan. Laporan pengawasan ditiadakan dari publikasi.
Dampak Diam
Diam yang dipertontonkan bukanlah netralitas. Ia mencerminkan sikap defensif yang bisa menular ke jajaran atas. Jika dibiarkan, ini bukan lagi persoalan teknis proyek. Ini ancaman terhadap fondasi kepercayaan publik kepada pemerintah.
Sikap bungkam pejabat PUPR bisa menjadi beban politik yang tak ringan bagi Hendrajoni. Publik bisa saja menyimpulkan, jika anak buahnya terus berlindung di balik pintu tertutup, mungkinkah sang bupati mulai menutup mata?
Karena dalam demokrasi, diam bukan pilihan. Apalagi saat yang dipertaruhkan bukan sekadar ruas jalan, tapi citra seorang pemimpin.
Penulis : Chairur Rahman