MR.com,Pessel| Setelah sempat diduga sebagai proyek “siluman”, tabir pelaksanaan pembangunan bronjong di aliran Sungai Batang Sako, Kecamatan Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, akhirnya mulai terkuak. Proyek yang sebelumnya tidak menampilkan papan nama kegiatan itu ternyata berada di bawah pengawasan PPK 2.4, Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Wilayah II, Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Sumatera Barat.
Kepastian itu disampaikan langsung oleh Kepala Satker PJN II, Masudi, ST., MT., saat dikonfirmasi media ini melalui sambungan telepon pada Sabtu, 25 Oktober 2025.
“Itu pekerjaan bagian dari paket preservasi jalan dan jembatan Kambang–Tapan–Indrapura batas Bengkulu yang dikerjakan oleh PT Sadewa Karya Tama di bawah pengawasan PPK 2.4. Plang proyek berada di awal dan akhir ruas,” ujar Masudi singkat.
Baca : Dugaan Proyek Siluman di Batang Sako, Aroma Penyimpangan Uang Negara Menguat
Namun, penjelasan tersebut belum sepenuhnya menjawab kecurigaan publik. Sebab, hingga kini tak satu pun informasi mengenai nilai kontrak, perusahaan konsultan supervisi, nomor dan tanggal kontrak, serta masa pelaksanaan proyek dapat ditemukan di lapangan dan merupakn sesuatu yang seharusnya menjadi unsur wajib transparansi dalam proyek yang dibiayai uang negara.
LMR-RI Soroti Transparansi dan Dugaan Kongkalikong
Ir. Sutan Hendy Alamsyah, Komisariat Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR-RI) Sumatera Barat, menilai ada indikasi kongkalikong antara kontraktor, pihak pengawas, dan pengelola anggaran dalam pelaksanaan proyek tersebut.
“Meskipun Kasatker menyebut pelaksananya PT Sadewa Karya Tama, namun keterangan itu tidak serta-merta disertai dokumen dasar proyek seperti nilai dan masa kontrak. Padahal, keberadaan plang proyek adalah bentuk komitmen pemerintah terhadap transparansi penggunaan uang negara,” tegas Sutan Hendy saat dimintai tanggapan, Ahad (26/10/2025).
Lebih lanjut, alumni Universitas Indonesia itu juga menyoroti minimnya penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di lapangan. Para pekerja, menurutnya, tampak bekerja tanpa dilengkapi Alat Pelindung Kerja (APK), yang seharusnya menjadi standar wajib sesuai ketentuan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di setiap proyek pemerintah.
“Mendapatkan jaminan keselamatan dalam bekerja adalah hak pekerja, dan kewajiban negara melalui kontraktor pelaksana. Bila pekerja dibiarkan tanpa APK, itu pelanggaran nyata terhadap aturan K3 dan menunjukkan lemahnya empati serta pengawasan,” cecarnya.
Dugaan Penggunaan Material Ilegal
Sutan Hendy juga menyoroti kemungkinan penggunaan material batu yang diambil dari lokasi proyek tanpa izin tambang.
“Memanfaatkan batu di lokasi tidak masalah selama ada izin tambang, minimal izin tambang rakyat. Tapi kalau tanpa izin, itu berarti memakai material ilegal,” ungkapnya.
Jika benar, praktik itu berpotensi melanggar Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menegaskan:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Selain kontraktor, pihak BPJN Sumbar selaku pengguna anggaran dan pengawas proyek juga berpotensi terseret. Bila terbukti membiarkan atau memanfaatkan material yang diperoleh secara ilegal, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan penadahan hasil kejahatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP.
Analisis Hukum: Dugaan Pelanggaran Administratif hingga Pidana Pelanggaran Transparansi Proyek
Tidak adanya papan nama proyek melanggar Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jo. Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018, yang mewajibkan setiap pelaksanaan proyek negara menampilkan informasi kontrak sebagai bentuk akuntabilitas publik.
Pelanggaran ini bisa berujung pada sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha bagi penyedia jasa.
Pelanggaran K3 dan SMK3
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen K3, kontraktor wajib menyediakan perlindungan dan alat keselamatan bagi setiap tenaga kerja.
Jika terjadi kecelakaan kerja, maka kontraktor dan pejabat pembuat komitmen (PPK) dapat dikenai pertanggungjawaban pidana korporasi sesuai Pasal 190 dan 191 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pelanggaran terhadap Undang-Undang Minerba
Penggunaan batu dari lokasi tanpa izin merupakan kegiatan pertambangan ilegal. Jika terbukti, kontraktor dapat dijerat Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba dengan ancaman pidana penjara 5 tahun dan denda Rp100 miliar.
Indikasi Penyalahgunaan Wewenang dan Kerugian Negara
Jika terdapat unsur pembiaran atau manipulasi dokumen proyek, maka dapat dijerat Pasal 3 dan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun serta denda maksimal Rp1 miliar.
Publik Menanti Ketegasan Penegak Hukum
Dengan berbagai kejanggalan yang muncul, mulai dari transparansi hingga penggunaan material ilegal, publik menaruh harapan besar pada Aparat Penegak Hukum (APH), baik dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat maupun Polda Sumbar, untuk melakukan penyelidikan mendalam.
“Publik menanti komitmen nyata penegakan hukum di lapangan, sebagaimana ditegaskan Presiden Prabowo Subianto dalam agenda pemberantasan penyimpangan anggaran infrastruktur,” pungkas Sutan Hendy.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya melakukan konfirmasi kepada pihak PPK 2.4 yang baru dan PT Sadewa Karya Tama terkait dugaan pelanggaran hukum dalam pelaksanaan proyek bronjong di Batang Sako tersebut.
Penulis : Chairur Rahman
