MR.com,Pesisir Selatan | Setelah hampir setahun terbengkalai, pembangunan Pasar Painan kembali mendapat suntikan dana segar dari APBN 2025–2026. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Direktorat Jenderal Prasarana Strategis, menyalurkan anggaran senilai Rp21,45 miliar untuk menuntaskan proyek yang sempat mangkrak akibat putus kontrak pada akhir 2024. Namun geliat pembangunan yang diharapkan membawa napas baru bagi ekonomi rakyat itu justru menyisakan pertanyaan hukum dan akuntabilitas publik.
Proyek lanjutan ini dipercayakan kepada PT Bukit Zaitun sebagai pelaksana, dengan pengawasan konsultan PT Surya Cipta Engineering KSO PT Astadipati Duta Herindo. Sesuai kontrak, masa pelaksanaan ditetapkan 210 hari kalender dengan masa pemeliharaan 180 hari. Tetapi ketika tim media menelusuri lokasi proyek pada Rabu, 5 November 2025, tak tampak tanda-tanda pekerjaan fisik dimulai. Hanya sebuah plang proyek berdiri di area pasar tanpa mencantumkan tanggal Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK), dokumen yang semestinya menjadi dasar sah pelaksanaan pekerjaan.
Lebih ironis, di lokasi terlihat beberapa pekerja membongkar pagar seng tanpa alat pelindung diri (APD) standar, melanggar Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja. Hal ini menimbulkan dugaan lemahnya pengawasan teknis dan administratif sejak awal kegiatan.
Jejak Putus Kontrak dan Kekosongan Hukum
Dari catatan Dinas Perdagangan dan Transmigrasi Kabupaten Pesisir Selatan, proyek tahap awal pembangunan Pasar Painan sebelumnya dikerjakan oleh PT Putra Jaya Andalan dengan nilai kontrak Rp53,3 miliar, kemudian diaddendum menjadi Rp58 miliar. Namun hingga kontrak berakhir pada Desember 2024, progres fisik baru mencapai 72 persen.
Secara hukum, kondisi tersebut memenuhi unsur “wanprestasi kontraktual” sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu kelalaian pelaksanaan kewajiban kontraktual yang berakibat timbulnya kerugian pada pihak pemberi pekerjaan, dalam hal ini negara.
Meski proyek dinyatakan putus kontrak, hingga kini belum ada kejelasan mengenai mekanisme penyelesaian hukum dan administratif terhadap penyedia sebelumnya. Seharusnya, menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (jo. Perpres 12 Tahun 2021), penyedia yang tidak menyelesaikan pekerjaan wajib dikenakan sanksi daftar hitam dan dilakukan perhitungan denda serta pemutusan kontrak resmi.
Jika mekanisme itu tidak dijalankan secara tertib, maka proyek lanjutan berpotensi melanggar asas transparansi dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf a dan b Perpres yang sama.
Pedagang dalam Jerat Ketidakpastian
Sementara itu, para pedagang yang kini menempati pasar sementara harus menanggung dampak langsung dari keterlambatan pembangunan. Lokasi pasar sementara yang sempit dan tidak layak membuat aktivitas jual beli tersendat.
“Tempatnya sempit, panas, dan kalau hujan bocor. Pembeli juga malas datang,” keluh seorang pedagang sayur di Pasar Sementara Painan, Rabu sore.
Kepala Dinas Perdagangan dan Transmigrasi, Afriman Julta, membenarkan bahwa pembangunan tahap awal mengalami keterlambatan parah. “Ini memang warisan proyek yang terbengkalai dari pemerintahan sebelumnya, tapi Pak Bupati Hendrajoni berkomitmen penuh untuk menuntaskannya,” ujarnya dikutip dari laman resmi Pemkab Pesisir Selatan.
Afriman juga meminta pedagang bersabar. Ia memastikan proyek lanjutan sudah masuk dalam rencana kerja dan anggaran (RKA) 2025, dengan target penyelesaian awal 2026, agar pasar dapat segera difungsikan kembali.
Di Persimpangan Akuntabilitas
Kasus Pasar Painan memperlihatkan bagaimana kegagalan administrasi kontraktual bisa berujung pada stagnasi ekonomi rakyat kecil. Dalam konteks hukum administrasi negara, keterlambatan penanganan proyek ini menimbulkan potensi maladministrasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Jika tidak ada penegasan sanksi terhadap penyedia lama dan audit atas progres pekerjaan, proyek lanjutan Pasar Painan berpotensi menjadi mata rantai baru dari siklus pemborosan anggaran yang melanggar prinsip efisiensi dan efektivitas penggunaan APBN.
Dan sementara papan proyek berdiri tegak tanpa tanggal mulai kerja, di bawahnya, para pedagang kecil terus menunggu, antara janji penyelesaian dan kenyataan yang tak kunjung bergerak.
Hingga berita diterbitkan media masih tahap mengumpulkan data dan informasi serta upaya konfirmasi pihak terkait lainnya.
Penulis : Chairur Rahman
Editor : Redaksi

