MR.com, Padang| Proyek pekerjaan jembatan di ruas jalan provinsi Gerbang Mandeh–Tarusan, Sumatera Barat, kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan semata soal kualitas bangunan, melainkan perbedaan keterangan yang mencolok antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan pihak kontraktor. Kontradiksi ini membuka ruang kecurigaan terhadap tata kelola proyek negara senilai Rp 885 juta tersebut.
PPK Willy menyatakan abutmen jembatan tidak menggunakan tulangan besi karena konstruksinya dirancang dengan beton siklop. Beton jenis ini, dalam praktik teknik sipil tertentu, memang dapat diaplikasikan tanpa tulangan baja. Namun pernyataan itu berseberangan dengan keterangan kontraktor Zal dari CV Tri Arjafa Sekawan, yang justru mengklaim adanya penggunaan besi tulangan pada abutmen.
Perbedaan narasi ini dinilai aktivis antikorupsi sebagai sinyal kejanggalan serius. Ketua Komisariat Lembaga Missi Reclasseering Republik Indonesia (LMR RI) Sumbar, Ir. Sutan Hendy Alamsyah, menilai publik sedang disuguhi dua versi kebenaran dalam satu proyek yang sama.
“Hal ini perlu diungkap kebenarannya. Ada pihak yang diduga melakukan pembohongan publik, tetapi apakah kontraktor atau PPK, itu masih menjadi misteri. Demi keadilan dan kepastian hukum, aparat penegak hukum harus turun tangan,” kata Sutan Hendy di Padang, Senin( 15/12/2025).
Proyek yang berada di bawah pengelolaan Dinas Bina Marga, Cipta Karya, dan Tata Ruang (BMCKTR) Sumbar itu, menurut dia, memunculkan pertanyaan mendasar tentang konsistensi dokumen kontrak, efektivitas pengawasan teknis, serta akuntabilitas penggunaan anggaran. “Tidak boleh ada ruang abu-abu dalam proyek publik. Ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga keselamatan konstruksi dan uang negara,” ujarnya.
Dari sudut pandang teknik sipil, polemik ini menyentuh jantung struktur bawah jembatan. Beton siklop boleh saja dirancang tanpa tulangan, tetapi syaratnya tegas, harus tercantum jelas dalam spesifikasi teknis, Rencana Anggaran Biaya (RAB), serta gambar rencana. Ketidaksinkronan keterangan antara PPK dan kontraktor mengindikasikan dua kemungkinan, yaitu, kekeliruan pemahaman teknis atau adanya ketidaksesuaian antara perencanaan di atas kertas dan pelaksanaan di lapangan.
Secara hukum konstruksi, kondisi ini berpotensi mengarah pada dugaan penyimpangan teknis dan lemahnya fungsi pengendalian mutu. Bila dokumen kontrak secara eksplisit menetapkan abutmen beton siklop tanpa tulangan, klaim kontraktor mengenai keberadaan besi justru menjadi persoalan hukum tersendiri. Sebaliknya, bila di lapangan terdapat elemen yang tidak sesuai dengan dokumen perencanaan, maka tanggung jawab hukum tidak berhenti pada kontraktor, tetapi juga menjalar ke konsultan pengawas dan PPK sebagai penanggung jawab kontrak.
Aktivis antikorupsi mendesak aparat penegak hukum segera memeriksa dokumen kontrak, RAB, gambar kerja, serta laporan pengawasan konsultan. “Klarifikasi yang saling bertolak belakang tidak bisa dibiarkan. Negara tidak boleh kalah oleh narasi,” tegas Sutan Hendy.
Alumni Universitas Indonesia bidang arsitektur itu juga menyayangkan dugaan kejanggalan tersebut muncul di tengah kondisi Sumatera Barat yang masih diliputi status darurat bencana, dengan keterbatasan anggaran pembangunan. “Sangat disayangkan jika masih ada pihak yang berbuat culas terhadap pembangunan sarana publik,” katanya.
Ia menilai indikasi kecurangan dalam proyek ini mencederai semangat peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati setiap 9 Desember. “Di saat integritas terus didengungkan, justru muncul praktik yang merusak kepercayaan publik,” ujarnya.
Proyek ini, tampaknya, bukan sekedar soal beton dan besi, melainkan tentang kejujuran, tanggung jawab, dan nasib uang negara.
Hingga berita diterbutkan, media masih mengumpulkan data dan informasi tambahan, termasuk melakukan konfirmasi lanjutan kepada pihak Dinas BMCKTR Sumbar, konsultan pengawas, serta instansi pengawas internal pemerintah.
Penulis : Chairur Rahman
(Wartawan muda)
Editor : Redaksi


