MR.com, Padang| Tanpa terasa air mata menetes sore itu. Dari balik layar televisi, ribuan orang tampak berdesakan, memenuhi jalan-jalan protokol ibu kota. Suara mereka lantang, menembus langit kota, “Bubarkan DPR! Tegakkan keadilan!” Seruan itu lahir bukan dari tenggorokan kosong, melainkan dari dada yang sesak, hati yang lama menanggung luka.
Teriakan rakyat adalah gema kekecewaan dan keputusasaan. Harga kebutuhan pokok merangkak, kesempatan kerja kian menyempit, ekonomi menjerat. Di tengah tekanan hidup, rakyat kecil merasa sekadar penonton di panggung negara yang dikelola segelintir elite.
Kerumunan hari itu bukan hanya mahasiswa dan buruh. Pasukan ojek online menuntut keadilan atas tewasnya rekan mereka, yang dilindas kendaraan pengamanan milik kepolisian. Suasana kian mencekam. Siswa SMK ikut bersorak sambil mengibarkan bendera merah putih, seolah mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah milik semua. Bahkan emak-emak dengan sapu lidi di tangan ikut meramaikan barisan, menegaskan tuntutan yang melintasi kelas sosial dan keadilan.
Sementara itu, di balik gedung parlemen yang megah, para wakil rakyat duduk tenang dengan fasilitas berlimpah dan tunjangan selangit. Semua bersumber dari pajak rakyat, yang dipungut dari keringat mereka yang kini berdesakan di jalan.
Kontras ini seperti tamparan keras di wajah bangsa. Rakyat di pelosok negeri berjuang hidup dengan gaji pas-pasan, banyak yang tak memiliki jaminan kesehatan. Namun pejabat publik tampak terpisah dari realitas yang diwakilinya. Kesenjangan yang terus menganga perlahan merobek kepercayaan.
Demonstrasi bukan sekadar kerumunan massa. Ia adalah cermin bangsa. Ketika rakyat memilih turun ke jalan, itu pertanda saluran formal tak lagi dipercaya. Demokrasi macet. Suara-suara akar rumput merasa tak punya tempat.
Air mata yang jatuh sore itu bukan hanya karena iba. Ada rasa takut, takut pada jurang pemisah yang kian dalam antara rakyat dan pemimpinnya, takut pada bangsa yang kehilangan empati dan takut pada negara yang lupa bahwa keadilan bukan sekadar jargon politik, melainkan hak dasar manusia.
Seruan “Tegakkan keadilan” adalah doa kolektif, jeritan mereka yang merasa tak lagi didengar. Pemerintah dan wakil rakyat sepatutnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk politik. Dengarkan suara dari jalanan, suara rakyat yang meminta keadilan, kesejahteraan, dan secercah harapan.
Negeri ini dibangun atas pengorbanan rakyatnya. Jangan biarkan air mata mereka mengering sia-sia.
Penulis : Chairur Rahman