MR.com Pesisir Selatan | Proyek pembangunan jaringan irigasi D.I Kawasan Sawah Laweh Tarusan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang dibiayai APBN tahun anggaran 2025 senilai Rp10,5 miliar, kembali menuai sorotan.
Sejumlah kejanggalan teknis ditemukan di lapangan, mengindikasikan lemahnya pengawasan mutu konstruksi dan berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Proyek ini berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang (SNVT PJPA WS Indragiri–Akuaman, Kampar, Rokan), dengan nomor kontrak HK0201-Bws5.9.2/02.
Pekerjaan dilaksanakan oleh CV. Satria Perdana, dengan waktu pelaksanaan 262 hari kerja sejak tanggal kontrak 14 April 2025.
Namun, penelusuran lapangan media ini pada Rabu, 5 November 2025, justru menemukan kondisi yang jauh dari spesifikasi teknis.
Rumput penutup tanah di tepi saluran yang semestinya berfungsi sebagai revetment vegetatif tampak mengering dan mati. Pintu air yang seharusnya terbuat dari bahan logam atau beton pracetak justru menggunakan papan triplek, bahan yang tidak memiliki ketahanan terhadap tekanan air maupun cuaca.
Lebih mengkhawatirkan, dinding beton saluran irigasi di beberapa titik terlihat retak dan berpotensi bocor, mengindikasikan adanya masalah pada mutu beton (mix design) maupun prosedur curing selama pelaksanaan.
Retakan itu tidak hanya berpotensi menurunkan umur layanan konstruksi, tetapi juga bisa mengganggu fungsi utama jaringan irigasi dalam mendistribusikan air ke lahan pertanian warga.
Selain itu, tidak ada aktivitas pekerjaan di lokasi, padahal berdasarkan kontrak, masa pelaksanaan proyek masih menyisakan sekitar 50 hari kerja.
Ketika dikonfirmasi, Hendra, selaku kontraktor pelaksana, mengklaim bahwa pekerjaan fisik telah selesai hampir seluruhnya.
“Pekerjaan fisik sudah selesai, progres sudah mencapai 90 persen lebih. Sekarang kami fokus pada pekerjaan administrasi,” ujar Hendra melalui sambungan telepon.
Padahal, menurut informasi di papan proyek, pekerjaan efektif masih dalam masa kontrak aktif. Fakta di lapangan menunjukkan ketidaksinkronan antara progres riil dan laporan administrasi, yang dapat membuka ruang bagi praktik mark-up atau rekayasa progres fisik.
Secara hukum, kondisi ini dapat dikategorikan sebagai indikasi pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah, khususnya terkait asas transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi.
Bila terbukti terdapat pekerjaan fiktif, pengurangan volume, atau penggunaan material di bawah spesifikasi, maka hal tersebut bisa dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain aspek hukum, dari sisi teknis sipil, penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi kontrak dan lemahnya pengawasan lapangan menunjukkan adanya cacat mutu konstruksi (construction defect).
Jika tidak segera dilakukan perbaikan atau audit teknis, jaringan irigasi ini berpotensi tidak berfungsi optimal, bahkan dapat rusak sebelum masa pemeliharaan berakhir.
Publik kini menanti langkah Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang sebagai penanggung jawab teknis untuk memastikan kualitas hasil pekerjaan sesuai dengan dokumen kontrak dan spesifikasi teknis.
Sebab, proyek irigasi yang dibiayai dari uang rakyat semestinya memberikan manfaat nyata bagi petani, bukan meninggalkan retakan dan pintu air dari triplek.
Hingga berita ini ditayangkan media masih tahap mengumpulkan data-data dan upaya konfirmasi pihak terkait lainnya.
Penulis : Chairur Rahman
Editor : Redaksi

