MR.com, Padang | Di balik deru bus Trans Padang yang setiap hari melintas di jalanan kota, tersimpan persoalan serius yang luput dari perhatian publik. Sudah empat bulan terakhir, gaji sopir Trans Padang di hampir seluruh koridor tak kunjung dibayarkan. Ironisnya, hanya Koridor I yang terbebas dari tunggakan.
Fakta ini membuka tabir ketimpangan dalam pengelolaan layanan transportasi publik yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Para sopir mengaku tetap bekerja penuh, menjalankan rute dan melayani penumpang tanpa kepastian kapan upah mereka akan diterima. “Kami diminta profesional, tapi hak kami diabaikan,” ujar seorang sopir, Senin( 22/122025).
Informasi yang dihimpun menunjukkan, lancarnya pembayaran gaji di Koridor I berkaitan dengan status armada yang telah lunas. Bus-bus tua di koridor tersebut tidak lagi dibebani cicilan, sehingga ruang keuangan pengelola lebih longgar. Sebaliknya, di koridor lain, beban pembiayaan armada diduga menggerus pos belanja operasional, termasuk upah sopir.
Jika benar upah pekerja dijadikan instrumen penutup defisit operasional, maka persoalan Trans Padang bukan sekedar soal arus kas, melainkan dugaan pelanggaran prinsip dasar pengelolaan keuangan publik. Dalam skema layanan bersubsidi, resiko pembiayaan aset semestinya ditanggung oleh negara atau badan pengelola, bukan dialihkan secara diam-diam kepada pekerja.
Lebih jauh, praktik ini berpotensi melanggar hukum ketenagakerjaan yang menegaskan upah sebagai hak normatif yang wajib dibayar tepat waktu. Ketika negara lalai memastikan pemenuhan hak tersebut, fungsi perlindungan terhadap pekerja berubah menjadi ilusi administratif.
Ketimpangan antar-koridor juga memunculkan pertanyaan serius, apakah subsidi dan pengelolaan keuangan Trans Padang dijalankan tanpa standar yang adil dan terukur?
Di titik ini, yang dipertaruhkan bukan hanya kesejahteraan sopir, tetapi keselamatan penumpang dan kepercayaan publik. Sopir yang bekerja di bawah tekanan ekonomi berpotensi menghadapi kelelahan dan stres berkepanjangan, faktor yang kerap menjadi pemicu kecelakaan lalu lintas.
Kasus tunggakan gaji ini menjadi alarm keras bagi DPRD dan aparat pengawas internal pemerintah. Tanpa audit menyeluruh dan pembukaan data ke publik, Trans Padang berisiko berubah dari simbol transportasi modern menjadi etalase kegagalan tata kelola.
Empat bulan tanpa gaji adalah bentuk pengabaian. Dalam negara hukum, pembiaran semacam ini bukan sekedar kelalaian, ia bisa menjadi pelanggaran sistemik yang disengaja.
Hingga berita ini diterbitkan media masih tahap mengumpulkan data dan informasi serta upaya konfirmasi pihak terkait lannya.
Editor : Redaksi

