Mitra Rakyat
Wednesday, December 10, 2025, Wednesday, December 10, 2025 WIB
Last Updated 2025-12-09T21:59:40Z
Opini

Menteri PU ke Sumbar, Antara Rencana Besar dan Luka yang Belum Sembuh

banner 717x904


 

Penulis : Chairur Rahman

                 (Wartawan Madya)


MR.com| Kunjungan Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo ke Sumatera Barat beberapa waktu lalu mungkin bisa dibaca sebagai pesan politik yang tegas. Karena pemerintah pusat ingin terlihat hadir, bukan hanya dalam bentuk ucapan belasungkawa, tetapi lewat angka yang sangat konkret, Rp13,52 triliun siap dikucurkan untuk pemulihan pascagalodo. 


Angka besar yang di atas kertas terdengar menjanjikan. Namun seperti biasa, di balik janji dana triliunan, publik Sumbar masih menyimpan trauma panjang pada lambannya rehabilitasi pascabencana di masa-masa sebelumnya.


Dody tidak datang sendirian. Ia ditemani Anggota DPR RI Andre Rosiade dan Wakil Gubernur Vasco Rusemey. Formasi lengkap, yang memberi kesan bahwa pusat dan daerah kompak membaca urgensi pemulihan Sumbar. 


Menteri PU juga mengurai dengan rinci pembagian porsi kebutuhan anggaran dari empat Direktorat Jenderal, yakni : SDA Rp3,66 triliun, Bina Marga Rp2,16 triliun, Cipta Karya Rp2,03 triliun dan Prasarana Strategis Rp5,67 triliun. Semua tampak tertata, terukur dan siap digerakkan.


Namun justru di situlah problem klasik sering bersembunyi. Publik Sumbar sudah kenyang dengan fase-fase “kompilasi kebutuhan”, “verifikasi lapangan”, “menunggu persetujuan anggaran”, hingga “proses lelang”. Deret ritual birokrasi yang sering kali menunda pemulihan hingga warga terpaksa hidup terlalu lama dengan jembatan darurat, jalan yang tambal-sulam, serta fasilitas publik yang tak kunjung kembali normal.


Pernyataan bahwa anggaran ini akan segera dilaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto tentu memberikan kesan percepatan. Pemerintah pusat ingin digambarkan sigap, responsif, dan punya political will yang kuat. Tetapi pertanyaan yang lebih mendasar adalah, apakah mekanisme eksekusinya akan betul-betul dipangkas dari hambatan administratif? Ataukah raksasa anggaran Rp13,52 triliun itu kembali terjebak dalam labirin birokrasi yang sama?


Dalam banyak kasus pascabencana, kehadiran menteri bukanlah isu. Yang lebih kritis adalah konsistensi setelah kamera padam dan pejabat pulang. Sumbar sudah terlalu sering menjadi panggung kunjungan pejabat tinggi pasca bencana, namun begitu para rombongan kembali ke Jakarta, warga masih harus menyeberang sungai, jembatan darurat atau mungkin ada yang menunggu truk material lewat untuk bisa berbelanja ke pasar.


Apresiasi pemerintah daerah kepada Menteri PU dan Presiden Prabowo Subianto tentu wajar. Tetapi publik juga berhak mengajukan pertanyaan, apakah daftar kebutuhan yang dikompilasi empat Ditjen itu benar-benar hasil pembacaan objektif terhadap kerusakan, atau hanya repetisi pola lama yang mengisi daftar panjang proyek tanpa mekanisme pengawasan yang ketat?


Dengan nilai setara lebih dari setengah APBD Sumatera Barat, program rehab-rekon ini seharusnya bukan hanya soal “membangun kembali”, tetapi memastikan kualitas, ketepatan sasaran, dan integritas dalam setiap paket pekerjaan. Sumbar punya sejarah yang tidak terlalu manis dengan proyek-proyek pascabencana, termasuk isu material ilegal, pengerjaan serampangan, dan dominasi kontraktor tertentu.


Jika pemerintah pusat ingin meninggalkan warisan pemulihan yang benar-benar membekas, maka pekerjaan paling sulit sebenarnya bukan pada penyaluran anggaran besar, tetapi pada memastikan setiap rupiah menembus hingga titik terdampak. Tanpa kooptasi kepentingan politik, tanpa permainan paket proyek, tanpa repetisi kesalahan lama.


Kunjungan menteri hanyalah prolog. Yang menentukan babak berikutnya adalah bagaimana Rp13,52 triliun itu bekerja di lapangan, bukan hanya di podium. Warga Sumbar tidak menagih janji besar. Mereka hanya menagih agar tanah yang longsor tidak disulap menjadi proyek yang longsor pula.

Terkini