MR.com, Sumbar | Airnya mengalir pelan, menyimpan riwayat banjir yang setiap tahun datang tanpa diundang. Di tepian, mesin-mesin raksasa kini bergerak, seolah hendak menulis bab baru tentang keselamatan kota.
Namun di sela gemuruhnya, terselip bisik-bisik warga, bertanya apakah pembangunan ini benar untuk melindungi, atau sekadar menambah daftar janji yang hanyut bersama arus.
Di tepi Batang Agam yang berwarna kecokelatan, raungan mesin ekskavator membelah udara siang. Debu tipis bercampur aroma solar, menutup napas pekerja yang mondar-mandir di antara tumpukan batu dan pasir.
Tak semua berseragam lengkap seperti helm, rompi, dan sepatu pelindung lebih sering jadi pengecualian ketimbang aturan.
Proyek ini bernilai Rp42,88 miliar. Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang menjadi nakhoda, dengan mandat membangun benteng terakhir Payakumbuh dari banjir musiman. Di atas kertas, semua tampak rapi. Tapi di lapangan, janji itu bertemu dengan serangkaian tanda tanya.
Material menjadi sorotan pertama. Batu dan pasir yang digunakan, kata warga, terlalu “akrab” dengan lokasi proyek seakan diambil langsung dari bantaran sungai, bukan dari quarry berizin sebagaimana tertulis dalam dokumen penawaran. Jika dugaan itu benar, aturan pengadaan terancam, dan kualitas konstruksi pun perlu dipertanyakan.
Detail Engineering Design (DED) yang semestinya menjadi kitab suci pelaksanaan kerap hanya hidup di meja rapat. Di lapangan, pengujian material, kepatuhan desain, dan metode kerja lebih sering hadir di laporan resmi ketimbang di lokasi kerja. Beton dituangkan, batu ditata, tapi kejelasan soal kepatuhan teknis masih samar.
Lalu ada kabut lain yang menyilimuti yakni bahan bakar. Di lokasi, tak terlihat drum atau tangki bermerek Pertamina. Muncul dugaan bahwa mesin-mesin proyek ini digerakkan oleh solar bersubsidi. Jika benar, negara bukan hanya membiayai pembangunan, tapi juga ikut menanggung bahan bakarnya.
Upaya konfirmasi sudah dilakukan. Media ini menghubungi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Ilyas Firman dan kontraktor pelaksana yang dikenal sebagai Win Penes. Hingga Jumat (18/7/2025) sore, telepon tak berbalas. Diam mereka justru mempertebal prasangka publik bahwa proyek ini tak berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam pekerjaan sebesar ini, diam adalah risiko. Sebab dana yang mengalir dari APBN adalah uang rakyat, dan setiap rupiahnya seharusnya kembali dalam untuk pekerjaan yang aman, rapi, serta setia pada janji dan bukan sekedar arus janji yang ikut hanyut di batang agam.
Penulis : Chairur Rahman