MR.com| Delapan puluh tahun merdeka. Namun di balik gegap gempita perayaan, pertanyaan itu masih menggantung di udara, benarkah kita sudah merdeka?
Di ruang sidang megah, para legislator dan pejabat eksekutif sibuk berpesta kata dan tepuk tangan. Pidato disusun rapi, jargon-jargon kebangsaan dilontarkan, dan kamera menyorot wajah sumringah penuh percaya diri.
Tetapi di luar gedung berpendingin udara itu, ada rakyat yang menahan perih di perut, menimbang apakah hari ini masih ada nasi tersisa untuk keluarga.
Seorang bapak tua di pinggir jalan mengaku keluarganya belum makan sejak pagi. Ironi ini menampar nurani di negeri yang katanya subur makmur, justru menyisakan anak bangsa yang terperangkap dalam lingkaran lapar.
Sementara itu, telinga publik tak henti disuguhi kabar bahwa wakil rakyat bisa menumpuk pundi hingga miliaran rupiah saban tahun. Transparansi kerap dijanjikan, tapi tak kunjung terwujud.
Di satu sisi, rakyat diminta berhemat, bersabar, berkorban demi negara. Di sisi lain, mereka yang duduk di kursi empuk justru berpesta pora.
Merdeka, seharusnya berarti bebas dari belenggu kesenjangan. Merdeka berarti tak ada lagi anak bangsa yang terpinggirkan hanya karena perutnya kosong.
Namun, jika yang merdeka hanya segelintir elite, sementara sebagian besar rakyat masih merintih dalam diam, maka kemerdekaan itu terasa timpang.
Kita memang merdeka dari penjajah asing. Tetapi apakah kita sungguh merdeka dari kerakusan dan ketidakadilan yang lahir dari bangsa sendiri?.
Penulis : Chairur Rahman