Menakar Asa Lima Tahun ke Depan
Opini
Ditulis Oleh: Sriyanti
Ibu Rumah Tangga tinggal di Bandung
Mitra Rakyat.com
Rezim jilid 2 telah resmi dilantik, akankah mereka merealisasikan janji-janjinya sementara setumpuk permasalahan di periode sebelumnya belum tuntas terselesaikan?
Joko Widodo akan kembali memimpin pemerintahan untuk lima tahun ke depan. Ia menjadi presiden Indonesia hingga tahun 2024 ditemani wakilnya Ma'ruf Amin. Ada sejumlan visi dan misi yang dicanangkan, Jokowi-Ma'ruf pun telah bersumpah akan menjalankan program-program tersebut. Lantas bagaimana dengan berbagai permasalahan di periode pertamanya karena sebagian kalangan beranggapan bahwa rezim tersebut telah gagal.
Salah satu di antara permasalahan dalam periode pertama Jokowi adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Asapnya menyebar ke berbagai daerah khususnya Sumatera dan Kalimantan. Bahkan hingga memakan korban jiwa. Greenpeace Indonesia mencatat 3,4 juta hektar lahan terbakar selama 2015-2018. Belum lagi ditambah dengan yang terjadi di tahun ini. Greenpeace menilai hal tersebut adalah dampak dari lemahnya pemerintah dalam menjalankan hukum terhadap perusahaan yang telah terbukti membakar hutan dan lahan. Walhasil perusahaan lain pun tidak takut untuk melakukan hal yang sama serta tindakan-tindakan lainnya yang merugikan dan membahayakan. (CNN Indonesia 19/10/2019).
Kemudian kebijakan impor pangan yang oleh pemerintah dianggap sebagai solusi pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Nyatanya hanya membuat para petani dan rakyat menangis karena dirugikan. Bagaimana tidak, harga dari hasil pertanian di masyarakat menjadi anjlok. Kritik keras pun dilontarkan berbagai kalangan, di antaranya disampaikan oleh ekonom senior Rizal Ramli mengenai kebijakan impor tersebut. Ia mengatakan, cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan sulit terwujud karena kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah sering melakukan impor pangan.
"Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor 'ugal-ugalan' yang sangat merugikan petani," kata Rizal kepada awak media dalam jumpa persnya di Jakarta Selatan, Senin (25/2/2019). (Kompas.com).
Tak hanya kedua hal di atas. Problem defisit BPJS yang akhirnya berdampak pada kenaikan iuran masyarakat. Hal ini akan semakin menambah beratnya beban hidup rakyat negeri ini. Faktor yang diklaim menjadi sumber penyebab masalah defisit yang dihadapi BPJS bukan saja terkait pembiayaan untuk penyakit katastropik (penyakit yang memerlukan pengobatan dengan biaya yang mahal) tetapi juga ketidakpatuhan pesertanya dalam membayar iuran.
Sekitar 64,7 persen ibu hamil baru mendaftar peserta BPJS Kesehatan pada satu bulan sebelum melahirkan. Sementara hanya 0,7 persen yang sudah mendaftar sejak sembilan bulan sebelum melahirkan. Seperti yang diungkapkan oleh Deputi Direksi Bidang Riset dan Pengembangan BPJS Kesehatan Citra Jaya saat ditemui di kawasan Menteng, pada jumat (18/10/2019).
"Mayoritas mendaftar satu bulan menjelang persalinan. Pascapersalinan ternyata 43 persen langsung berhenti membayar iuran,"
Adanya perilaku tersebut dipandang mengakibatkan terjadinya selisih antara iuran yang terkumpul dengan biaya yang mesti dibayarkan BPJS Kesehatan. Sehingga mengakibatkan minus sebesar Rp206.890.964.784.
Menurut Citra, ketidakpatuhan peserta ini disebabkan beberapa faktor, seperti ketidakmampuan peserta dalam membayar iuran, juga ketidaktahuan bagaimana metode pembayaran iuran tersebut. Selain itu, pembayaran iuran bukan dimasukkan ke dalam prioritas utama. (detikhealty.com).
Belum tuntasnya penyelesaian untuk permasalahan di atas, akankah cita-cita negeri ini untuk tuntas keluar dari permasalahan kemiskinan dapat terwujud? Di tengah keadaan saat ini yang karut marut di berbagai bidang.
Dalam pandangan Islam negara wajib hadir untuk mengurus (meriayah) rakyat dengan cara yang tepat dan benar sesuai syariat Islam. Sehingga hak setiap individu untuk hidup sejahtera pun dapat terpenuhi. Islam menentukan fungsi pokok negara dan pemerintah dalam bidang ekonomi, yaitu menghapuskan kesulitan ekonomi yang dialami rakyat, memberi kemudahan pada akses pengembangan ekonomi kepada seluruh lapisan rakyat dan menciptakan kemakmuran. Alquran memaklumatkan visi negara dalam bidang ekonomi ini,
”Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya." (TQS. Thaha: 118-119).
Jaminan hidup bagi anak-anak yatim, kaum fakir dan miskin, para lansia, orang cacat, pembiayaan pernikahan, persalinan dan jaminan kebutuhan hidup, kesehatan serta pendidikan keluarga yang tidak mampu dan untuk kemaslahatan umat lainnya juga adalah tanggung jawab negara.
Semua pembiayaan tersebut berasal dari kas baitul mal yang merupakan institusi moneter dan fiskal Islam. Baitul mal juga berfungsi menampung, mengelola dan mendistribusikan kekayaan negara bagi keperluan kemaslahatan umat.
Dalam hal pengambilan kebijakan pun karena yang menjadi dasarnya adalah keimanan, maka setiap kebijakan atau tindakan sekecil apapun akan dikaitkan dengan pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Dan setiap kewajiban publik harus pula dipertanggungjawabkan kepada publik karena menyangkut penggunaan kekuasaan dan wewenang serta penggunaan aset yang diamanahkan kepada pengambil kebijakan tersebut.
Maka jelas sekali perbedaannya antara peran negara dalam Islam dengan kondisi negara di sistem demokrasi kapitalis saat ini. Jika sistem kufur ini masih terus dipakai di negeri ini, niscaya tujuan menyejahteraan rakyat dan menuntaskan kemiskinan hanya akan menjadi mimpi yang mustahil terwujud. Lain halnya ketika Islam diterapkan secara kafah sebagai sistem kehidupan, maka keberkahan, kesejahteraan, keadilan dan rahmatan lil 'alamin pun akan teraih dengan gemilang.
Waallahu a'lam bi ash shawab