Wartawan Menggugat Korupsi RSUP M.Djamil
Opini
Penulis : Chairur Rahman
MR.com| Dua wartawan di Padang, Ruswan Dedison dan Doni Saputra, memilih jalan berliku, melaporkan dugaan korupsi di RSUP M. Djamil ke Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
Langkah ini bukan hanya perlawanan terhadap praktik busuk yang menggerogoti pelayanan publik, tapi juga sebuah ujian, apakah hukum di negeri ini berpihak pada kebenaran, atau sekadar menjadi pagar rapuh bagi mereka yang berkuasa.
Laporan itu menyebut dugaan penyimpangan pengadaan alat kesehatan, pengelolaan parkir dan keamanan, hingga pekerjaan fisik ruang rawat inap. Daftarnya tak main-main, mulai dari direktur rumah sakit, pejabat pembuat komitmen, hingga rekanan perusahaan penyedia barang dan jasa.
Baca : Dua Wartawan Laporkan Dugaan Korupsi RSUP M. Djamil ke Kejati Sumbar
Jika benar adanya, praktik semacam ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan perampasan hak pasien dan masyarakat yang datang mencari kesembuhan di rumah sakit pemerintah terbesar di Sumatera Barat.
Ada yang menarik dari kasus ini. Laporan itu justru datang dari wartawan. Padahal, selama ini jurnalis dikenal sebagai pihak yang menyampaikan temuan melalui berita, bukan melalui jalur hukum.
Namun, inilah wujud baru dari partisipasi sipil, wartawan adalah warga negara, dan warga negara berhak melaporkan dugaan tindak pidana korupsi. Undang-undang pun melindunginya.
Keberanian Ruswan dan Doni layak diapresiasi. Tapi publik juga tahu, laporan dugaan korupsi di tubuh birokrasi kerap berhenti di meja Aparat Penegak Hukum(APH). Sering kali, kasusnya melempem, entah karena bukti dianggap kurang, entah karena pelakunya punya koneksi politik.
Transparansi penegak hukum dalam menindaklanjuti laporan ini akan menentukan apakah aparat benar serius memerangi korupsi, atau sekadar menjalankan ritual formalitas.
Sikap Direktur RSUP M. Djamil, Dovy Djanas, yang menyatakan tidak tahu-menahu soal laporan itu, menambah ironi. Bagaimana mungkin seorang pimpinan institusi sebesar rumah sakit rujukan utama di Sumatera Barat bisa begitu ringan menanggapi tudingan serius? Publik berhak menuntut klarifikasi lebih dari sekadar kalimat singkat.
Kasus ini seharusnya menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik rente di sektor kesehatan. Apalagi rumah sakit pemerintah bukan sekadar unit layanan, melainkan simbol kehadiran negara dalam menjaga hak dasar warganya. Bila rumah sakit justru menjadi ladang bancakan, yang sakit bukan hanya pasien, tapi juga integritas negara.
Kini bola ada di tangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Jangan biarkan laporan wartawan ini berakhir jadi arsip berdebu. Publik menanti, apakah hukum benar-benar bekerja, atau sekadar menjadi sandiwara.