Praktisi Hukum
Sebelumnya, Komisi I DPR RI telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dalam Rapat Pleno Badan Legislasi DPR RI. Belakangan, dinamika revisi UU Penyiaran mengalami penundaan lantaran munculnya pro dan kontra dari berbagai pihak.
Wacana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran telah lama menjadi isu krusial dalam merespons perkembangan media penyiaran. Ragam alasan mendasari mengapa UU Penyiaran perlu direvisi. Utamanya, perkembangan teknologi informasi komunikasi di era modern yang kian pesat. Sehingga pengaturan UU Penyiaran perlu lebih adaptif dan akomodatif.
Perkembangan teknologi informasi membuat arus penyiaran menjadi semakin kompleks. UU Penyiaran secara limitatif hanya mengakomodir penyiaran melalui media konvensional (Televisi dan Radio). Anasir awal ini setidaknya menjadi alasan utama urgensi perubahan UU Penyiaran.
Secara umum, usulan KPI atas revisi undang-undang Penyiaran ini terkait tiga hal, yaitu: Penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran. Membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital. Revisi UU Penyiaran diperlukan agar tata kelola KPI Daerah dapat diperbaiki sehingga dapat lebih maksimal dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya.
Tiga Prinsip Penting Revisi UU Penyiaran
Pro-kontra yang berujung tersendatnya revisi UU Penyiaran, kian menambah sengkarut masalah penyiaran yang kita hadapi. Dalam konteks itu, setidaknya ada tiga prinsip penting yang perlu tercermin dalam revisi UU penyiaran, diantaranya, tata kelola kelembagaan, perluasan kewenangan, dan penguatan fungsi pengawasan.
Pertama, perbaikan tata kelola kelembagaan menjadi pilar penting KPI dalam merespons perkembangan arus penyiaran modern. Tata kelola kelembagaan KPI mesti disesuaikan dengan perkembangan media penyiaran yang menggunakan platform media digital. Demikian pula, relasi antara KPI dan KPID yang bersifat koordinatif perlu ditata ulang untuk menopang efektifitasnya sebagai lembaga pengawasan.
KPID sebagai penjaga nilai dan kearifan lokal di daerah harus menjadi garda terdepan dalam kerja-kerja penyiaran. Perubahan paradigma relasi dari daerah ke pusat (bottom-up) akan lebih menjamin konten-konten penyiaran tidak bertentangan dengan nilai dan kearifan lokal (local wisdom). Di sinilah peran KPID menjadi sangat sentral, sebagai the guardian of the local wisdom. Selain itu KPID memastikan bahwa konten yang disiarkan harus mengandung nilai informasi, edukasi dan hiburan yang merefleksikan nilai kearifan lokal.
Kedua, revisi UU Penyiaran harus diarahkan sebagai perluasan kewenangan KPI untuk melakukan pengawasan terhadap media digital. Jerman dan Australia cukup sukses dalam melalukan pengawasan media digital secara ketat. Di Jerman, YouTube wajib mengintegrasikan UU Penyiaran ke dalam sistem. Sementara Australia melakukan take down apabila ditemukan konten negatif yang berasal dari domain lokal.
Ketiga, penguatan fungsi pengawasan. KPI perlu membangun sistem pengawasan integrasi bersama kementerian informasi dan digital (komdigi) dan Polri. Hal ini untuk menjamin konten yang disiarkan tidak mengandung asusila, pornografi atau perjudian. Dengan adanya integrasi sistem pengawasan ini memungkinkan setiap stakeholder memiliki tanggungjawab yang sama dalam menjaga konten penyiaran.
Pada akhirnya, semangat perbaikan sistem penyiaran kita terletak pada political will untuk merevisi UU penyiaran. Setidaknya tiga prinsip di atas menjadi penentu dalam menjaga dan memperbaiki sistem penyiaran di Indonesia. KPI tentu tidak bisa melakukannya sendiri, diperlukan komitmen dan kerjasama dari institusi lain. Terutama komdigi dan polri.