MR.com, Jakarta| Dalam percaturan organisasi kepemudaan nasional, nama Budisatrio Djiwandono semakin mengemuka sebagai sosok yang tengah menuju puncak peran strategis: terpilih sebagai calon Ketua Umum Pengurus Nasional Karang Taruna periode 2025–2030.
Meski demikian, langkah politik Budi, sapaan akrabnya, tak hanya sekadar soal pencalonan elit, melainkan juga menjadi pusat perhatian dari berbagai kalangan yang menilai sosoknya sebagai representasi regenerasi pemimpin masa depan.
Salah satu yang paling tajam mengamati dan memberi pandangan terhadap figur ini adalah Mahdiyal Hasan, advokat muda sekaligus mantan Ketua Tunas Indonesia Raya (TIDAR) Sumatera Barat. Dalam pandangannya, Budi adalah sebuah anomali positif, berasal dari garis keturunan elit nasional, namun memiliki sensitivitas lapangan dan kerendahan hati yang jarang ditemukan di lingkar kekuasaan.
Darah Elite, Jiwa Lapangan
Lahir di Jakarta pada 25 September 1981 dari keluarga dengan latar belakang ekonomi dan politik yang kuat, Budi merupakan representasi dari generasi muda yang berakar dari garis keturunan elit. Ayahnya, Sudradjad Djiwandono, pernah menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, sementara ibunya adalah kakak kandung dari Prabowo Subianto, calon presiden terpilih periode 2024–2029.
Namun, menurut Mahdiyal, kekayaan latar belakang itu justru menjadi tantangan tersendiri bagi Budi untuk membuktikan kapasitasnya secara nyata. Ia tidak ingin sekadar menumpang ketenaran keluarga. Sebaliknya, Budi memilih membangun kredibilitas dari bawah, melalui pendidikan di Amerika Serikat, pengalaman bekerja di sektor industri, lalu memutuskan terjun ke dunia politik sejak 2017 melalui jalur Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI.
Kini, dengan posisi sebagai Ketua Fraksi Partai Gerindra dan Wakil Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan, hubungan luar negeri, dan intelijen, Budi dianggap memiliki pijakan yang kokoh untuk mengimplementasikan visi strategis di organisasi sosial seperti Karang Taruna.
Kepemimpinan yang Mendengarkan dan Inklusif
Mahdiyal menilai, keberhasilan Budi bukan hanya soal pengalaman, tetapi juga gaya kepemimpinannya yang terbuka dan inklusif. Ia pernah menyaksikan langsung bagaimana Budi mampu mendengarkan keluhan kader-kader muda di daerah. Sikapnya yang tidak memotong pembicaraan dan selalu bertanya balik secara serius menunjukkan bahwa Budi benar-benar memahami bahwa perubahan harus dimulai dari mendengar.
“Karang Taruna tidak membutuhkan figur karismatik yang hanya tampil di panggung, melainkan pemimpin yang mampu merespons problem nyata di tingkat desa: minimnya akses kerja, kurangnya pelatihan keterampilan, dan ketidakpastian menghadapi era digital,” ujar Mahdiyal.
Budi dinilai mampu menyambungkan problematika tersebut dengan kebijakan konkret karena memiliki koneksi pusat dan pemahaman akar rumput yang mendalam. Kemampuan ini yang diharapkan mampu membawa organisasi sosial ini menjadi agen perubahan nyata di tengah tantangan zaman.
Lebih dari Sekadar Manuver Politik
Menanggapi berbagai spekulasi bahwa langkah Budi ke Karang Taruna hanyalah bagian dari skenario politik menuju Pilkada atau Pemilu 2029, Mahdiyal menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari proses regenerasi politik yang sehat dan perlu.
“Justru kita membutuhkan orang seperti Budi di Karang Taruna yang paham struktur pemerintahan, mampu mencari anggaran, dan menjembatani aspirasi pemuda ke meja pengambil keputusan,” tegasnya. Ia menambahkan, jika organisasi ini dipimpin oleh sosok seperti Budi, Karang Taruna dapat berubah menjadi “sekolah politik alternatif” yang mendidik generasi muda tentang kewarganegaraan aktif, kolaborasi lintas sektor, dan kepemimpinan berbasis data.
Isu Nyata, Aksi Nyata
Selama ini, Budi dikenal sebagai sosok yang konsisten membawa isu-isu yang relevan dengan kebutuhan pemuda masa kini, seperti literasi digital, kewirausahaan sosial, ketahanan pangan lokal, dan penguatan karakter di era disinformasi. Bahkan, jauh sebelum isu-isu ini menjadi tren nasional, Budi sudah menyuarakannya di forum-forum internal partai dan diskusi lintas sektor.
“Saya masih ingat ketika Budi berbicara panjang soal pentingnya digitalisasi di tingkat desa, saat sebagian besar elit masih bicara infrastruktur dasar. Ia punya sense masa depan,” kenang Mahdiyal.
Karang Taruna di Simpang Jalan
Kini, seluruh perhatian tertuju pada Temu Karya Nasional Karang Taruna 2025, forum penting yang akan menentukan arah organisasi selama lima tahun ke depan. Kehadiran figur seperti Budi bukan hanya soal membawa nama besar, tetapi juga menawarkan paradigma baru dalam memandang pemuda: sebagai agen perubahan, bukan sekadar objek kegiatan seremonial.
“Budi bukan hanya representasi elit, ia adalah cerminan harapan kita terhadap pemuda yang mampu menjembatani dua dunia: kebijakan dan lapangan, pusat dan daerah, wacana dan aksi. Karang Taruna membutuhkan pemimpin seperti itu jika ingin tetap relevan dan berkontribusi nyata,” pungkas Mahdiyal.
Momentum Kebangkitan Pemuda
Pencalonan Budisatrio Djiwandono sejatinya adalah ujian bagi pemuda Indonesia: apakah mereka siap dipimpin oleh figur yang membawa semangat pembaruan, atau justru tetap berkutat dalam pola lama yang stagnan. Mahdiyal Hasan menegaskan, harapan banyak anak muda terletak pada kepemimpinan yang humble, cerdas, visioner, dan bersedia turun langsung ke lapangan.
Dalam sosok Budi, ia melihat harapan itu nyata. Karang Taruna kini berada di persimpangan sejarah. Jika organisasi ini benar-benar ingin menjadi pelopor perubahan sosial, pilihan ke depan harus tegas, bukan soal siapa yang populer, melainkan siapa yang benar-benar peduli dan siap bekerja untuk masa depan pemuda Indonesia.(cr)