Sebagai ujung tombak pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air dan pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN), lembaga ini justru dinilai gagal menunjukkan profesionalisme.
Dua mega proyek pengendalian banjir Batang Agam dan Batang Kandis menjadi contoh telanjang dari dugaan penyimpangan. Detail Engineering Design (DED) yang semestinya menjadi kitab suci dalam pembangunan, diduga diabaikan oleh kontraktor pelaksana.
Baca : Dugaan Campur Tangan Mafia Proyek di BWSS V Padang
Pada proyek Batang Agam, penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi, material ilegal, dan pengabaian sistem keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) menjadi isu utama.
Proyek Batang Kandis tak kalah mencoreng muka, sorotan pihak berwenang semakin tajam karena penggunaan material yang sama-sama diduga tak sesuai aturan.
Yang lebih mencemaskan, praktik melanggar hukum ini seolah mendapat restu BWSS V Padang. Diamnya pihak balai dan kontraktor saat dikonfirmasi media hanya mempertebal keyakinan publik bahwa ada yang disembunyikan.
Transparansi dan akuntabilitas yang dijanjikan pemerintah dalam pengelolaan dana APBN merpukan uang rakyat yang dipungut dari pajak nyaris tak terlihat di lapangan.
Masyarakat Sumatera Barat kini hanya bisa berharap pada keberanian aparat penegak hukum untuk mengungkap kebenaran. Publik menuntut agar setiap rupiah dari APBN yang dialokasikan untuk proyek strategis benar-benar memberi manfaat, bukan justru terperosok ke lubang kebocoran dan praktik ilegal.
BWSS V Padang semestinya menjadi benteng pengelolaan sumber daya air yang berintegritas, bukan simbol lemahnya tata kelola negara.
Penulis : Chairur Rahman
Teriakan rakyat adalah gema kekecewaan dan keputusasaan. Harga kebutuhan pokok merangkak, kesempatan kerja kian menyempit, ekonomi menjerat. Di tengah tekanan hidup, rakyat kecil merasa sekadar penonton di panggung negara yang dikelola segelintir elite.
Kerumunan hari itu bukan hanya mahasiswa dan buruh. Pasukan ojek online menuntut keadilan atas tewasnya rekan mereka, yang dilindas kendaraan pengamanan milik kepolisian. Suasana kian mencekam. Siswa SMK ikut bersorak sambil mengibarkan bendera merah putih, seolah mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah milik semua. Bahkan emak-emak dengan sapu lidi di tangan ikut meramaikan barisan, menegaskan tuntutan yang melintasi kelas sosial dan keadilan.
Sementara itu, di balik gedung parlemen yang megah, para wakil rakyat duduk tenang dengan fasilitas berlimpah dan tunjangan selangit. Semua bersumber dari pajak rakyat, yang dipungut dari keringat mereka yang kini berdesakan di jalan.
Kontras ini seperti tamparan keras di wajah bangsa. Rakyat di pelosok negeri berjuang hidup dengan gaji pas-pasan, banyak yang tak memiliki jaminan kesehatan. Namun pejabat publik tampak terpisah dari realitas yang diwakilinya. Kesenjangan yang terus menganga perlahan merobek kepercayaan.
Demonstrasi bukan sekadar kerumunan massa. Ia adalah cermin bangsa. Ketika rakyat memilih turun ke jalan, itu pertanda saluran formal tak lagi dipercaya. Demokrasi macet. Suara-suara akar rumput merasa tak punya tempat.
Air mata yang jatuh sore itu bukan hanya karena iba. Ada rasa takut, takut pada jurang pemisah yang kian dalam antara rakyat dan pemimpinnya, takut pada bangsa yang kehilangan empati dan takut pada negara yang lupa bahwa keadilan bukan sekadar jargon politik, melainkan hak dasar manusia.
Seruan “Tegakkan keadilan” adalah doa kolektif, jeritan mereka yang merasa tak lagi didengar. Pemerintah dan wakil rakyat sepatutnya berhenti sejenak dari hiruk-pikuk politik. Dengarkan suara dari jalanan, suara rakyat yang meminta keadilan, kesejahteraan, dan secercah harapan.
Negeri ini dibangun atas pengorbanan rakyatnya. Jangan biarkan air mata mereka mengering sia-sia.
Penulis : Chairur Rahman
Informasi yang beredar menyebut ada campur tangan kelompok tertentu melalui seorang pialang yang mengatur siapa rekanan yang bakal menggarap paket pekerjaan negara di institusi tersebut.
Nama H. W**, Direktur PT Mthri Trbit, disebut-sebut dalam jaringan itu. Lelaki ini dijuluki sebagai “pintu masuk” bagi kontraktor yang ingin mendapat proyek di BWSS V. “Tanpa persetujuan cukong proyek, pintu untuk mendapat jatah pekerjaan akan tertutup rapat,” kata narasumber yang enggan disebutkan namanya ketika ditemui di Padang, pekan lalu.
Kementerian PU melalui BWSS V Padang pada tahun anggaran 2025 tercatat bakal melelang proyek senilai ratusan miliar rupiah. Beberapa di antaranya, pembangunan pengendali lahar sedimen kawasan Gunung Merapi (Rp62,29 miliar), pembangunan pengendali banjir Batang Mangor (Rp19,3 miliar), pembangunan pengaman pantai di Kabupaten Kepulauan Mentawai (Rp10,53 miliar), serta pembangunan pengendalian banjir Batang Agam di Kota Payakumbuh (Rp51 miliar).
Selain itu ada pula proyek pembangunan sarana pengendalian banjir Batang Lembang (Rp55,8 miliar), revitalisasi Danau Singkarak (Rp27 miliar), pembangunan jaringan irigasi di Kawasan Sawah Laweh (Rp11,56 miliar), rehabilitasi irigasi Batang Anai di Kabupaten Pariaman (Rp12,5 miliar), serta pembangunan pengendali Batang Suliti (Rp30,63 miliar). Proyek pengendalian banjir di Kabupaten Dharmasraya juga masuk daftar, meski nilai kontraknya belum diumumkan.
Menurut narasumber tadi, sebagian besar paket itu sudah “dikunci” sejak awal. “Permainan ini terkesan disembunyikan, bahkan seolah direstui. Tak ada reaksi sama sekali sehingga berjalan mulus,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak BWSS V Padang belum memberikan tanggapan resmi. Redaksi berupaya menghubungi Kepala Balai dan pejabat terkait, namun panggilan telepon serta pesan singkat tak kunjung dijawab.
Media masih tahap mengumpulkan data-data dan upaya konfirmasi pihak terkait lainnya sampai berita ini ditayangkan
Penulis : Chairur Rahman
Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program PEDULI (Pengembangan Dukungan dan Resiliensi Diri), yang digagas lima mahasiswa FKM Unhas melalui skema Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) 2025. Program ini mendapat dukungan dari Kemendikbudristek, Belmawa, serta Universitas Hasanuddin.
“Metode yang kami gunakan berupaya menyentuh sisi emosional peserta, agar lebih mudah dipahami dan diingat,” ujar Andi Maghfirah Ramadhani Asfar, ketua tim, kepada media pada Sabtu(2/8/2025) via telpon.
Tahapan yang dilaksanakan kali ini adalah Basic Awareness Phase, setelah sebelumnya diawali dengan sesi Transforming Perspective. Pada tahap kedua ini, siswa tidak hanya diperkenalkan dengan konsep pelecehan seksual, tetapi juga diajak melatih penalaran lewat studi kasus, hingga menyanyikan lagu edukatif yang mudah diingat.
Untuk mengukur efektivitas, tim melakukan pre-test dan post-test pada peserta. “Kami ingin melihat sejauh mana pemahaman siswa meningkat setelah intervensi,” kata Maghfirah.
Selain Maghfirah, tim ini beranggotakan SQA Dinda Chairunnisa, Desinta Rahmawati, Indri Sri Handayani, dan Nasywa Salsabila Nasaruddin. Mereka berharap program PEDULI bisa menjadi pintu masuk bagi hadirnya edukasi inklusif yang lebih luas, terutama bagi kelompok difabel netra.
“Tujuan akhirnya adalah membekali siswa dengan pengetahuan, kesadaran, dan keberanian untuk melindungi diri, sekaligus membuka mata masyarakat tentang pentingnya lingkungan yang ramah difabel,” tutur Maghfirah.
Editor : Chairur Rahman
Proyek lanjutan pengendalian banjir Batang Agam senilai Rp4,8 miliar, yang dikelola Balai Wilayah Sungai Sumatera V (BWSS V) Padang, kini menjadi sorotan. Pekerjaan fisik dipercayakan kepada PT Bina Cipta Utama, dengan konsultan supervisi dari konsorsium PT Sarana Bhuana Jaya – PT Indra Jaya (Persero) – PT Rancang Mandiri.
Sejak isu penyimpangan mencuat, baik kontraktor maupun konsultan kompak memilih bungkam. Upaya konfirmasi redaksi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) BWSS V, Ilyas Firman, hanya berujung pada penolakan komentar. Pihak kontraktor yang disebut bernama Win Penes juga tak bersuara.
Indikasi pelanggaran mencuat lewat temuan sejumlah aktivis. Mahdiyal Hasan, S.H., pemerhati sungai dan pantai, menilai proyek ini sarat persoalan. “Ada indikasi penggunaan material ilegal, pemakaian BBM subsidi, dan pengabaian standar keselamatan kerja (K3),” ujarnya, Kamis, 28 Agustus 2025.
Menurut Mahdiyal, lemahnya pengawasan memperbesar peluang terjadinya penyimpangan. “Kalau material saja ilegal, bagaimana kualitas bangunannya? Kalau K3 diabaikan, siapa yang menjamin keselamatan pekerja? Ini bukan sekadar soal hukum, tapi juga nyawa dan lingkungan,” katanya.
Kontraktor pelaksana proyek Batang Agam disebut-sebut sama dengan pelaksana proyek Batang Kandis, yang sebelumnya sempat bermasalah. Dalam proyek itu, pihak berwenang disinyalir menemukan dugaan penggunaan material ilegal.
Mahdiyal mendesak aparat penegak hukum turun tangan. “Ini proyek strategis negara. Uang rakyat miliaran rupiah jangan sampai jadi bancakan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, BWSS V Padang dan pihak kontraktor belum memberikan keterangan resmi. Publik kini menanti, apakah dugaan penyimpangan ini bakal diusut tuntas, atau kembali hilang ditelan derasnya arus Batang Agam.
Penulis : Chairur Rahman